Selasa, 31 Maret 2009

Salah urus UMKM

KR. 27/03/2009 09:30:31 

Oleh : Hempri Suyatna

PEMBERITAAN media mengenai Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) cukup membuat kita miris. Mulai, Nilai Ekspor Terus Merosot (KR, 6/2/2009), Negara Tujuan Stop Pembelian, Ekspor UKM Turun (KR, 10/2/2009), Perajin Bambu Terhambat Permodalan (KR, 14/2/2009) hingga Selama 4 Bulan, Ekspor Turun Terus (KR, 3/3/2009). Sungguh sangat ironis.
Karena di tengah gencarnya pemerintah melaksanakan kebijakan-kebijakan yang pro-UMKM bahkan mengklaim keberhasilan kebijakan tersebut, ternyata persoalan yang menerpa sektor UMKM juga tidak pernah ada habisnya. Sektor ini masih saja terpuruk. Realitas tersebut paling tidak juga menunjukkan bagaimana kuatnya muatan politis di balik gencarnya pemerintah mengucurkan berbagai program pengembangan UMKM akhir-akhir ini.
Klaim keberhasilan yang dilakukan oleh pemerintah memang sah-sah saja. Akan tetapi klaim yang tidak didasari atas realitas yang terjadi di tingkat bawah justru hanya akan semakin menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya tidak pernah serius dalam menangani sektor UMKM. Adakah yang salah dengan kebijakan-kebijakan UMKM selama ini?
Tampaknya demikian. Salah urus merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana carut-marutnya program-program pengembangan UMKM di Indonesia. Jika dicermati, kebijakan-kebijakan UMKM selama ini hanya menyentuh pada persoalan kultural saja dan mengabaikan persoalan struktural yang sebenarnya juga menjadi faktor penting yang menghambat UMKM maju.
Struktur perekonomian yang terlalu berpihak kepada pengusaha besarlah yang sebenarnya menghambat UMKM untuk maju. Sayangnya, para perencana kebijakan kurang memperhatikan hal tersebut sehingga kebijakan-kebijakan UMKM cenderung hanya berorientasi pada upaya meningkatkan permodalan,  memperluas jaringan pemasaran maupun  mempermudah akses teknologi.
Model kebijakan yang sebenarnya gagal pada rezim  sebelumnya diulang terus menerus dengan label kebijakan yang berbeda namun secara substansial sama.
Implikasi dari hal tersebut menyebabkan kebijakan yang ada hanya mampu membuat UMKM  sekadar bertahan hidup saja akan tetapi kebijakan tersebut tidak pernah mampu membuat UMKM mampu mengatasi persoalan-persoalan yang menyebabkan mereka tidak dapat berkembang apalagi memiliki daya saing.  Berbagai contoh kebijakan di Indonesia menunjukkan bagaimana tidak perhatiannya pemerintah dalam menghilangkan aspek- aspek struktural yang menghambat efektivitas bekerjanya kebijakan UMKM. Sebagai contoh, bagaimana UMKM dapat berkembang jika di saat pemerintah gencar mengucurkan berbagai bantuan untuk UMKM akan tetapi di sisi lain pemerintah juga memberikan peluang besar bagi sektor kapitalistik untuk melakukan ekspansi usaha mereka. Akibatnya sektor UMKM banyak yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing.
Lihat saja sekarang, berapa banyak industri tekstil dalam negeri yang harus gulung tikar karena pasar dalam negeri telah dikuasai 77% produk tekstil di mana 70% persennya masuk secara ilegal. Contoh lain di mana banyak pasar tradisional yang merupakan wadah perekonomian rakyat kecil yang sudah gulung tikar karena pemerintah  terlalu memanjakan berdirinya pusat-pusat perbelanjaan modern seperti minimarket dan supermarket.
Survei AC Nielsen menyatakan jumlah pasar tradisional pada tahun 2000 masih 78,3% dari total pasar. Namun, pada tahun 2005 jumlahnya menurun menjadi 70,5%. Bahkan pada tahun lalu diperkirakan jumlah pasar tradisional berkurang menjadi hanya 65% dari total jumlah pasar di Indonesia. Data dari Asosiasi Pedagang Seluruh Indonesia juga membuat kita turut prihatin. Pada tahun lalu, sebanyak  4.707 pasar tradisional atau sekitar 35% dari total pasar tradisional yang ada di Indonesia ditinggalkan pedagang karena pasar tradisional kalah bersaing dengan retail modern di lokasi sama (Gatra, 29/1/ 2009). 
Hal esensial lain yang menyebabkan UMKM di Indonesia tidak berkembang adalah  kesalahan perencana kebijakan UMKM dalam memahami filosofi pelaku UMKM yang sebagian besar merupakan masyarakat miskin.  Masyarakat semacam ini memiliki karakteristik dan  strategi survival sendiri  yang  tidak dapat didekati dengan pendekatan-pendekatan  yang bersifat ekonomis maupun pendekatan individual. Selama ini, relasi-relasi sosial dan modal sosial di antara pelaku UMKM-lah yang dapat membuat sektor UMKM  mampu bertahan. Sayangnya, aspek ini cenderung diabaikan. Indikator kemajuan UMKM hanya dilihat dari sisi ekonomis semata seperti tingkat pendapatan, omzet penjualan dan sebagainya. Batasan UMKM sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008  juga hanya mengacu pada ukuran-ukuran ekonomis seperti kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan. 
Dapatkah salah urus kebijakan tersebut diperbaiki? Tentunya tidak ada kata terlambat dengan catatan perhatian atas aspek struktural kebijakan dan pemahaman akan filosofi pelaku UMKM harus menjadi perhatian bagi para perencana kebijakan. Pola-pola pikir kapitalistik yang selama ini masih saja terus mewarnai berbagai kebijakan pembangunan di Indonesia harus diubah dengan menjadikan pengembangan  UMKM sebagai prioritas utama kebijakan. Tanpa hal ini, sektor UMKM hanya akan menjadi 'anak tiri' terus dalam proses pembangunan. Dalam konteks ini, komitmen dan kekonsistenan kebijakan menjadi kata kunci.
Selaras dengan hal tersebut, kebijakan UMKM  harus menempatkan aspek non material sebagai basis pengembangan program. Oleh karena itu, penguatan aliansi strategis antarpelaku UMKM adalah agenda utama yang harus dilakukan. Kolektivitas dan  relasi-relasi sosial di antara pelaku UMKM perlu terus dibangun sehingga mampu menjadi kekuatan sosial dalam membendung ekspansi kapitalisme. Melawan kapitalisme dengan mengandalkan basis materi ekonomi adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin bagi pelaku UMKM, akan tetapi melawan kapitalisme dengan membangun gerakan sosial bersama di antara pelaku UMKM adalah sesuatu yang sangat mungkin dan harus diwujudkan.

(Penulis adalah Dosen Fisipol UGM)-z

Selasa, 17 Maret 2009

Kompor Buah Sawit yang Anti-Meleduk

Selasa, 17 Maret 2009 | 09:24 WIB

Laporan wartawan KOMPAS Ratih P Sudarsono

KOMPAS.com - Purwarupa (prototype) kompor berbahan bakar buah sawit dan etanol diuji coba sejumlah ibu-ibu pensiunan PT Persero Pertamina di rumah Ny Hartini (60) di Kompleks Pertamina Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur, Senin (16/3) sore. Mereka puas kue, sayur, d an ikan yang dimasak dapat matang sempurna, tanpa mengurangi citra rasa masakannya.

"Masakannya enggak bau sawit. Kalau pakai kompor minyak tanah, kadang masakan agak berbau minyak tanah karena kena asap kompornya. Tapi di Jakarta susah dapat buah sawit," kata Ny Atie.

Teman-temannya pun bersahutan membenarkannya, tentunya sambil ikut-ikut mencicipi kue nastar dan cah kangkung yang masih hangat, masakan mereka sendiri. Lalu celetuk Ny Vivi, "Benar nih, Yu, kompor ini tidak akan meleduk, kayak kompor minyak."

Yu yang dimaksud Vivi tidak lain adalah Bayu Himawan, pencipta kompor berbahan bakar buah sawit kering dan etanol itu. "Dijamin, kompor ini tidak akan meleduk. Juga kompor etanol-nya, enggak akan meledak," katanya.

Tidak bersumbu

Bayu menuturkan, purwarupa kompor sawit dan kompor etanol itu karyanya bersama Achmad Witjaksono dan Eko Widaryanto. Ketiganya adalah anggota tim peneliti/pencipta teknologi tepat guna yang dibina Prof Budhisantoso, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Sosial Budaya

Selama tiga bulan mereka mencoba mewujudkan kompor-kompor yang hemat energi atau menggunakan energi alternatif. Apalagi, sejumlah pihak telah mencoba menciptakan kompor-kompor berbahan bakar etanol atau energi alternatif lainnya, namun belum sempurna kerjanya.

"Untuk kompor sawit sudah kami ajukan hak patennya dengan nomor P00200900100. Saat ini kami sedang membuat 50 kompor lagi, sebagai tahap awal untuk kami perkenalkan secara resmi kepada masyarakat umum . Kalau kompor etanol, belum, karena penampilannya masih harus kami sempurnakan. Yang pasti, kompor etanol kami benar-bebar menghasilkan panas yang dibutuhkan untuk memasak dengan cepat dan aman," jelasnya.

Kompor sawit ini anti meleduk karena tidak memakai sumbu. Perut kompor terdiri dari dua bagian, yakni tangki penampungan dan pembakaran buah sawit di bagian bawah dan sarangan pengatur api di bagian atas. Kerja kompor ini adalah memanfaatkan aliran udara dari bawah yang menuju keatas akibat adanya api pada buah sawit yang dibakar di tangki penampung sawit. (Timbulnya api karena sebelumnya dipicu dengan menggunakan etanol, sepirtus, atau cairan lainya yang mudah disulut api).

Dari perut bagian bawah itu, aliran udara ini terus menuju sarangan atas kompor. Fungsi sarangan ini adalah untuk memfokuskan api yang timbul melalui susunan tiga lapis sarangan dengan lubang-lubang udara yang terdapat pada pelat sarangan.

Pada perut atas ini, api yang dihasilkan diarahkan menuju ke atas dengan pengaturan melalui lubang angin dari samping. Kemudian api difokuskan pada ujung sarangan terkecil yang berada di tengah sistem sarangan, sehingga panas yang dihasilkan terkosnetrasi/terpusat. Ini juga karena sarangan di tengah memiliki lubang yang berfungsi memusatkan api pada kompor.

"Api yang dihasilkan dapat dibesar atua dikecilkan sesuai keinginan penggunaannya. Harga kompor ini kami perkirakan antara Rp 70 ribu sampai Rp 150 ribu per buah," tambah Bayu.

Butuh dua pohon sawit

Kompor sawit ini memang cocok untuk masyarakat pedesaan yang ada perke bunan sawit atau warga masyarakat yang memiliki dua pohon sawit. Satu kilogram buah sawit kering, dapat digunakan untuk memasak selama tiga sampai empat jam.

"Satu pohon itu menghasilkan satu tandan buah sawit yang beratnya minimal 25 kilogram. Jadi kalau dua pohon, tersedia 50 kilogram buah sawit per bulan. Ini artinya dapat untuk masak selama 150 jam atau 50 hari kalau per harinya harus memasak selama tiga jam. Bayangkan kalau kita tidak usah lagi membeli minyak tanah atau elpiji," tuturnya.

Untuk kompo r berbahan bakar etanol, Bayu juga memastikan, kompor itu anti meledak atau kebakaran. Sebab, gas yang untuk pembakarannya, baru dibuat saat kompor diaktifkan. Lain dengan kompor gas yang ada, dimana gas elpijinya sudah ada dalam tabung.

"Kami belum mempatenkan kompor gas etanol ini karena bentuk tampilan kompor masih akan kami sempurnakan. Tabung-tabung berisi cairan etanol dan bensin serta alat untuk menciptakan gelembung masih telanjang, belum kami buat dalam satu wadah yang kompak dan estetik," katanya.

Dia menambahkan, penciptaan kompor sawit dan kompor etanol itu karena ingin menciptakan kompor berbahan bakar alternatif dan juga menghidupkan kembali industri/ kerajinan kompor rakyat, yang mandek akibat penggunaan kompor minyak tanah berkurang drastis.

 KOMPAS Ratih P Sudarsono

Top of Form

Bottom of Form

Sabtu, 14 Maret 2009

Bahaya Impersonation

Senin, 23/02/2009 08:45 WIB
Jangan Umbar Data, Teman dan Foto di Facebook!
Penulis: Donny B.U. - detikinet

Facebooker (dbu)

Jakarta - Jangan terlalu lengkap memasang profil diri dan foto di Facebook! Jangan terlalu gampang berteman di Facebook! Waduh, seruan tersebut tentunya tidak terlalu populer, atau cenderung diabaikan, bagi para Facebooker sejati. Ya memang, karena dengan bergesernya konsep dan ide sebuah pertemanan, maka tak apalah pada kenyataannya kita hanya punya segelintir teman di dunia nyata sepanjang punya berjibun (ratusan, ribuan) teman di situs jejaring sosial.

Seolah-olah dengan demikian keeksisan Anda adalah seberapa banyak teman yang dimiliki. Padahal dengan semakin banyak teman, yang kadang hanya teman sekedar kenal atau bahkan tak ingat lagi siapa dia atau bertemu dimana, maka semakin rentan terekspos data diri kita ke pihak-pihak di luar kontrol kita.

Walhasil, dengan demikian Anda akan semakin mudah menjadi korban 'impersonation' .

Kasus

Tulisan ini sengaja saya buat dan saya titipkan ke detikINET, karena ada satu kasus yang langsung menimpa salah satu mahasiswi saya di sebuah perguruan tinggi swasta tempat saya mengajar. Si mahasiswi tersebut belum lama berselang mengadukan kisahnya kepada saya bahwa hampir tiap saat dirinya melalui ponsel dihubungi orang yang tidak dikenal, bahkan di tengah malam sekalipun.

Setelah saya gali informasi lebih lanjut, ternyata saya temukan bahwa data dirinya di Facebook, entah oleh siapa, di-copy dan dijadikan sebuah blog di Blogspot.com. Blog tersebut seolah-olah dikelola langsung oleh si mahasiswi tersebut. Inilah yang disebut dengan kasus 'impersonation'

Bahkan si pelaku (impersonator) , memindahkan sebagian foto-foto si mahasiswi tadi dari Facebook ke sebuah situs penyimpanan foto gratisan, imageshack.us. Isi blog tersebut, cenderung berupa pencemaran nama baik dan melecehkan martabatnyat sebagai wanita.

Celakanya lagi, di blog tersebut dicantumkan pula nomor ponsel yang sehari-hari digunakan oleh mahasiswi tersebut. Maka, hampir tiap saat dia harus menjelaskan bahwa dirinya bukanlah seperti apa yang tertulis di blog pada setiap penelpon yang masuk.

Penyelesaian

Kasus ini agak rumit, karena tempat si impersonator meletakkan data-data dan foto-fotonya berada di luar ranah Indonesia . Tetapi upaya tetap harus dilakukan. Di blogspot.com atau blogger.com, ada fasilitas untuk melakukan 'flag blog', dengan pilihan 'impersonation' . Kita harus meng-attached hasil scan KTP atau SIM yang dapat membuktikan bahwa kita adalah korban dari pelaku impersonation.

Setelah kita men-submit, maka kita tinggal menunggu keputusan dari pengelola layanan blog tersebut untuk mencabut atau menghapus alamat blog yang menjadi keberatan kita.

Pun setali tiga uang dengan foto-foto yang terlanjur tersimpan di imageshack. Ada fitur untuk melaporkan dan meminta penghapusan foto-foto yang kita anggap materi berhak cipta, mengandung unsur pornografi ataupun kekerasan. Asumsinya, foto yang diambil dari akun Facebook kita tanpa seijin kita, adalah foto yang melanggar hak cipta.

Pencegahan

Agar kasus tersebut tidak terulang kepada siapapun, maka ada baiknya langkah-langkah pencegahan berikut ini bisa dijalankan ketika di dunia Facebook:

1). Jangan terlalu lengkap memasang profil atau data diri di Facebook. Tentunya semakin lengkap profil/data diri terpasang, semakin mudah mendapatkan teman. Tetapi di sisi lain, semakin beresiko pula data diri kita disalah-gunakan (abused)

2). Jangan memasang foto-foto diri Anda yang sekiranya Anda sendiri tidak akan merasa nyaman apabila foto tersebut tersebarluaskan secara bebas. Ingatlah, walau foto tersebut "hanya" diposting di akun Facebook Anda, sebenarnya itu sama saja dengan menyebarlukaskan foto tersebut ke publik. Sekali terposting dan tersebar, maka sangat sulit (dan nyaris mustahil) Anda bisa mencabut foto Anda dari Internet. Maka, selektiflah dalam berpose dan memposting foto Anda..

3). Jangan sembarangan 'add friend' atau melakukan approval atas permintaan seseorang untuk menjadi teman Anda. Cara memilah dan memilihnya mudah, yaitu lihat saja berapa jumlah "mutual friends" antara Anda dengan seseorang tersebut. Semakin sedikit "mutual friends"-nya, berarti semakin sedikit teman-teman Anda yang kenal dengan dirinya, yang berarti semakin beresiko tinggi. Pastikan Anda hanya menerima "pertemanan" yang "mutual friends"-nya cukup banyak.

4). Jangan sembarangan menerima tag photo. Bolehlah kita "banci tagging", tetapi berupayalah lebih selektif. Artinya, sekali Anda terjun ke Facebook, rajin-rajinlah memeriksa "keadaan sekeliling". Karena kita kadang menemukan foto diri kita yang di-upload dan di-tag oleh orang lain, padahal kita tidak suka foto tersebut disebarluaskan. Segera saja kita "untag" diri kita dari foto tersebut dan kalau perlu minta teman kita yang melakukan upload foto tersebut untuk mencabutnya.

5). Jangan tunda-tunda, ketika Anda menemukan data atau profil Anda digunakan oleh pihak lain untuk hal-hal di luar kontrol Anda, segeralah bertindak. Membiarkannya, justru akan membuatnya makin berlarut dan berdampak destruktif, setidaknya untuk kenyamanan diri sendiri. Laporkan langsung ke pengelola layanan tempat kejadian 'impersonation' , untuk segera mencabut informasi aspal (asli tapi palsu) tersebut. Atau, mintalah bantuan pada orang atau pihak yang sekiranya bisa atau paham bagaimana mengatasi hal di atas.

*) Penulis, Donny B.U., adalah penggiat kampanye "Be Wise While Online" dalam program Internet Sehat - ICT Watch. Untuk artikel terkait lainnya, dapat dibaca di http://www.ictwatch .com/internetseh at atau http://www.internetsehat.org

Rabu, 11 Maret 2009

Menyulap Lembaran Kulit Jadi Duit


Suhendra – detikFinance Sabtu, 14/02/2009 10:41 WIB

Cimahi - Usia senja bukanlah hambatan untuk memulai usaha. Setelah malang melintang menjadi orang gajian selama berpuluh-puluh tahun, Darwansyah Tanjung menemukan usaha pengolahan kulit hewan yang ternyata untungnya tidak sesenja usianya.

Pria asal Cimahi menemukan pilihan hidupnya sebagai pengusaha setelah diusia 50-an tahun. Dirinya kini menjadi perajin pengolah kulit hewan seperti ular, biawak, kerbau, buaya, sapi yang diolah menjadi berbagai macam aneka produk menarik.

Berawal dari hanya sebatas menjual produk-produk jaket non kulit, kemudian berkembang menjadi perusahaan pembuat produk aneka kulit seperti jaket, sepatu, topi, tas, ikat pinggang kulit yang cukup diperhitungkan di pasar dalam negeri maupun pasar ekspor.

"Tidak ada kata terlambat, usaha itu kayak air yah, dari bermula ada yang menanyakan barang jaket kulit, lalu saya sediakan, sampai sekarang berlanjut," jelasnya.

Mau tau rahasianya? Menurutnya syarat menjadi seorang pengusaha ada dua yaitu berani mencoba dan berani mencoba lagi. Modal uang baginya adalah nomor dua, kepercayaan diri bagi seorang pengusaha mutlak tertanam.

"Yang penting pede, berani coba. Saya ini mantan karyawan PT DI (Dirgantara Indonesia), awalnya nggak ngerti soal menyoal kulit, tapi saya mau menyoba," ujarnya.

Memulai usahanya sejak 5 tahun lalu, Darwansyah hanya bermodalkan uang kurang dari Rp 20 juta dari kantong sendiri. Lambat laun modalnya berputar kencang sehingga uang miliaran rupiah pun selalu mampir di kantungnya setiap tahun. Selama kurun waktu itu juga ia telah menyebar produk kulitnya ke berbagai negara tujuan ekspor seperti Malaysia, Australia, Amerika dan Prancis.

Mantan pegawai Mercedez Bens ini juga sempat belajar membuat produk kulit dari temannya. Rupanya bekal bekerja di PT DI di bagian direktorat teknologi (design) membuat dirinya mudah menguasai teknik membuat produk kulit.

Untuk bahan baku kulit, ia dengan mudah mendapatkan pasokannya baik dari teman maupun langganan di beberapa tempat di Sumatera. Harga bahan bakunya pun bervariasi misalnya untuk kulit ular sanca bisa diperolehnya dengan harga Rp 300.000 per meter. Dari sekian jenis kulit, harga kulit buaya lah yang paling mahal, yaitu menembus angka Rp 200.000 per inci.

Darwansyah dengan bangga mengatakan, dimasa awal usahanya ia langsung dapat orderan untuk 600 potong jaket kulit TNI, ini tidak terlepas dari jasa temannya yang menawarkan orderan.

Walaupun sudah tenar dimana-mana, ia mengakui memasarkan produk kulit berbasis ekspor dengan merek sendiri, selama ini tidak mudah. Umumnya para pembeli (buyer) asing menginginkan label asing dan meminta pencantuman negara tujuan ekspor bukan Indonesia. Meskipun saat ini ia memiliki merek sendiri yang diberinama Dong Jung.

"Mereka (pembeli asing) inginnya merek mereka yang dipakai, saya sanggupi karena apa boleh buat kita butuh uang," pungkasnya.

Produk yang dijualnya umumnya relatif menempati produk kelas atas, setidaknya dapat dilihat dari harga satu pasang sepatu kulitnya bisa mencapai US$ 500 per pasang, atau harga termurah mulai dari Rp 600.000 sampai Rp 5 juta. "Yang terakhir mereka pesan 1000 sampai 2000 pasang sepatu, tapi mungkin karena krisis ditunda," ujarnya.

Bicara keuntungan dari bisnis ini, cukup menjanjikan, pasalnya setiap produk yang dibuat, ia mampu mengantongi margin bersih 30% sampai 100%.

"Karena harga produk kulit asli itu gelap, berapa pun harganya orang akan beli, kalau dia suka," ungkapnya.

Ia mampu membukukan penjualan Rp 200 juta per bulannya, atau menembus miliaran rupiah per tahun. Namun sayangnya dengan jumlah produksi yang terbatas itu, ia masih keteteran untuk meladeni permintaan produk kulit khususnya sepatu.

"Sekarang ada pesanan dari Jakarta minta stand di Pasar Raya Grande ukuran 40 sampai 60 meter, tapi saya belum sanggupi," ucapnya.

Terinspirasi dengan usaha Darwansyah, bisa hubungi:

DONG JUNG (Darwansyah Tanjung)
Alamat: Jl. Kompleks Nata Endah Blok N 12, Cihanjuang Cimahi Jawa Barat.
(hen/ir)

Rabu, 04 Maret 2009

112 Industri Kecil di Winongo Belum Punya IPAL

Rabu, 4 Maret 2009 | 19:46 WIB

Laporan wartawan KOMPAS Defri Werdiono

YOGYAKARTA, RABU — Sekitar 112 industri skala kecil di sepanjang bantaran Sungai Winongo di Kota Yogyakarta belum memiliki instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) komunal. Ada indikasi mereka membuang sisa hasil produksi ke sungai.

Kepala Subseksi Bidang Pemulihan Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta Pieter Lawoasal mengatakan, industri tersebut terdiri atas industri tahu, tempe, mie, dan kecap. Kawasan industri kecil lainnya yang belum memiliki IPAL komunal berada di Patuk, yakni industri makanan kecil bakpia. Menurut Pieter, mereka membuang ke saluran limbah yang diperuntukkan bagi limbah rumah tangga.

Karena belum ada IPAL maka timbul bau menyengat dan pencemaran lingkungan, ujar Pieter di sela-sela sosialisasi pembangunan IPAL komunal di Darakan, Kota Gede, Rabu (4/3). Selain warga dan pihak pemerintah, turut hadir pada kegiatan ini LSM Environmental Services Program (ESP) dan LSM Lestari.

Keberadaan IPAL komunal, menurut Pieter, memiliki fungsi penting untuk menjaga kondisi lingkungan, baik itu air maupun tanah dari zat-zat pencemar. Pieter mencontohkan, kandungan bakteri ecoli di daerah yang memiliki IPAL komunal menunjukkan perbaikan. Jika pada pengukuran sampel (sebelum ada IPAL) jumlah bakteri ecoli mencapai 2400 mnp. "Setahun kemudian (setelah ada IPAL) menunjukkan angka ecoli-nya 100 mnp," ujarnya.

BLH sendiri tahun ini akan membangun satu unit IPAL komunal di lingkungan industri kecil tahu dan tempe di wilayah Prenggan senilai Rp 200 juta menggunakan dana alokasi khusus. Tahun lalu, telah dibangun satu unit IPAL serupa di daerah Wirobrajan. Bahkan, gas yang dihasilkan oleh IPAL ini telah dimanfaatkan oleh sekitar 25 industri rumah tangga. Sedangkan tahun 2000 telah dibangun empat unit IPAL komunal di Ngampilan dan dimanfaatkan oleh 20 industri.

Community Base Water and Sanitation ESP Oni Hartono mengatakan, penerapan IPAL komunal untuk limbah industri tahu dan tempe berbeda dengan limbah rumah tangga (MCK). Diperlukan penanganan tersendiri untuk mengelolanya. Selama ini ESP banyak terlibat dalam penanganan IPAL komunal rumah tangga.

Meski di bantaran Winonggo berdiri banyak industri kecil, ternyata kadar pencemar masih di bawah Gajah Wong. Penyebabnya, kondisi daerah aliran Gajah Wong tidak sepanjang Winongo. Ada informasi dari peternak ikan bahwa kolam yang memperoleh air dari Gajah Wong harganya cenderung lebih rendah. Rasanya juga tidak terlalu enak, meski semua ini masih perlu dibuktikan, ujar Agus Hartono, Direktur LSM Lestari.