Kamis, 18 Desember 2008

Ekspor tempe dan tape

Saya jadi ingat kata-kata Prof. Fleet dari Australia yang dibenarkan oleh Prof. Steinkraus (penulis buku Industrialization of Indigenous Fermented Foods) 20 tahun lalu, saat beliau menjadi profesor tamu (visiting prof) di UGM, pada event "international workshop on food microbiology". Pada awal penyampaian materinya, Prof Fleet melontarkan ajakan atau himbauan yang berupa pertanyaan: "Why don't you export indonesian tempe and tape to western countries?" Mereka menyukai tempe dan tape. Sedang Indonesia mengimpor keju dan yohurt dari mereka. Satu kalimat semestinya dapat dijadikan pemicu (trigger) untuk kaum industri dan eksportir pangan indonesia asli. Sehingga komunitas barat dan komunitas kita yang ada di sana dapat menikmati produk pangan Indoensia. Tentunya, pangan yang diolah dengan pertimbangan kualitas tinggi, diproduksi dalam kondisi higien dan sanitasi terkendali, disterilisasi dengan pertimbangan eradikasi patogen, nutrisi tidak rusak, dan sifat sensoris mantap, serta dikemas dalam kemasan hermetik dan artistik. Insya Alloh C. botilinum tak dapat ampun apalagi sampai menghasilkan botulinin seperti yang dikhawatirkan oleh mba Ayusta.


Salam,

Rindit Pambayun

1 komentar:

durian mengatakan...

saya minta info tentang pemanfaatan eceng gondok, seperti yang ada dijogja. soalnya banyak ditempat saya rumput jenis ini (eceng gondok)tapi dimanfaatkan dengan baik, tolong bagikan ilmunya ya....terimaksih.