Sabtu, 17 Oktober 2009

Biosurfaktan dari Rhodococcus erythropolis

Biossurfaktan adalah molekul amfipatik yang dapat dibedakan dalam senyawa dengan berat molekul rendah seperti glikolipid, fosfolipid dan lipopeptida dan surfaktan dengan berat molekul tinggi seperti polisakarida, protein, lipoprotein atau biopolymer kompleks lainnya (Rosenberg and Ron. 1990).

Biosurfaktan memiliki aplikasi yang menarik karena sifat-sifat fungsionalnya yang luas termasuk di dalamnya kemampuan dalam pembersihan, pembasahan, pembuihan, emulsifikasi, reduksi viskositas, pemisahan dan pelarutan. Kemampuan tersebut banyak dimanfaatkan dalam industri pembersih, pertanian, konstruksi, pangan, kertas, industri logam, tekstil, kosmetik, farmasi dan industri petrokimia termasuk dalam aplikasi di lingkungan untuk bioremediasi. Biosurfaktan memiliki kelebihan karena mudah didegradasi, toksisitasnya rendah, dan dapat dihasilkan dari substrat yang bernilai ekonomi rendah ataupun limbah (Banat, Makkar., and Cameotra. 2000).

Surfaktan dihasilkan oleh berbagai mikrobia (bakteri dan jamur), sebagai produk ekstraselular terutama jika ditumbuhkan pada n-alkana atau yang sejenis. Namun demikian, beberapa surfaktan microbial dapat dihasilkan pada substrat yang larut air (Fiechter. 1992).

Rhodococcus erythropolis mampu menghasilkan biosurfaktan saat ditumbuhkan pada gliserol dengan suhu 280C. Biosurfaktan yang dihasilkan setelah 51 jam penumbuhan adalah sebesar 1,7 g/L dengan tegangan muka sebesar 43 mN/m dan tegangan permukaan (dengan n-heksadekana) sebesar 15 mN/m, indeks emulsifikasi (E24), dan minyak yang dapat dihilangkan 94 %. Penggunaan gliserol lebih baik dalam produksi gliserol dibandingkan sumber karbon hidrofobik (Ciapina, et al. 2006).

Rabu, 05 Agustus 2009

Oxo-bio industry says product claims valid

By Rory Harrington, 04-Aug-2009

An oxo-biodegradable industry body has refuted charges made by a rival association that its products fail to meet valid or recognised standards, and that the sector has yet to present sound scientific evidence to support its claims.

The Oxo-Biodegradable Plastics Association (OPA) has said the standards it uses to verify the biodegradability of its products are legitimate and that claims made by the industry are founded on solid science.

Recognised standards

Gerald Scott, Professor Emeritus in Chemistry and Polymer Science of Aston University and OPA Chairman, has rejected a series of charges laid against the sector by competitor European Bioplastics (EP).

In its second attack on the oxo-bio segment, EP said the American Standard ATSM D-6954-04 was not an acknowledged standard. Furthermore, it questioned the validity of citing the test because it had no pass/fail criteria but simply described how to operate tests in the laboratory.

But Scott, who is also chairman of the British Standards Institute Committee on Biodegradability of Plastics, said EP's accusation was incorrect.

"It is impossible to say that ATSM D6954 is not an acknowledged standard," he told FoodProductionDaily.com. "It not only provides detailed test methods but also provides pass/fail criteria."

The retired professor gave para 6.6.1 as an example that requires 60 per cent of the organic carbon must be converted to carbon dioxide prior to the end of the test and that gel content must be no higher than 10 per cent.

EB had also criticised use of the standard as it did not comply with EN13432, used by its own members, that sets a deadline for this to occur within 180 days. But Scott said there was no requirement for the 60 per cent conversion to be achieved in this time because, while timescale was critical in an industrial composting process, it was not critical for biodegradation in the environment. He said that for EB to compare the two standards did not make sense as they tested for different things; compostability in the case of EN 13432, while ASTM checked biodegradability.

"The issues raised by EB are not about clarification- they seem to me an attempt to confuse the public by suggesting a plastic is not biodegradable unless it can pass the 90 per cent mineralization test in EN 13432 and similar standards," said Scott . "EB knows perfectly well that this test is appropriate for composting but not for products designed to biodegrade in the environment."

Independent tests but results confidential

The OPA chairman also dismissed EP charges that the oxo-bio sector made "self-declared" claims, saying the products were subject to independent testing and their validity based on well-established science. The tests were conducted according to ASTM D-6954 by independent laboratories such as US and UK-based Smithers-RAPRA, Applus in Spain and Belgian testers OWS, said the body citing a number of examples.

Oxo-bio products degrade according to the definition as those "breaking down to a specific extent within a given time", said Scott in contradiction to another EB claim. He said that oxo-bio products meet definitions of oxo-degradation and oxo-degradability as defined by TC249/WG9 of CEN (the European Standards Organisation).

Scott said he had seen commercially confidential company reports verifying performance on degradability.

'I am satisfied that if properly manufactured oxo-bio products will totally degrade in the presence of oxygen," he added. "Timescale depends on the amount of heat, light and stress to which the materials is subjected."

Pre-treatment

EB claims that oxo-bio products could only be degraded under laboratory conditions after a pre-treatment were dismissed as irrelevant by the rival organisation.

Scott said that conditions in the laboratory were designed to simulate, so far as possible, conditions in the real world but had to be accelerated so tests could be done in a reasonable time.

"Pre-treatment does not invalidate the results as extrapolated to real-world conditions," he said.

Jumat, 03 Juli 2009

Laboratorium Lapang Agroindustri di Kabupaten Kediri

Launching Produk Unit Produksi ABEC


Minuman Jus Buah Asli

Merupakan minuman jus buah dalam kemasan yang diproduksi oleh unit produksi ABEC. Varian jus buah produksi ABEC adalah:

1. Jus Guava (dari jambu merah)
2. Jus Tamarillo (dari terong belanda)
3. Jus Sirsak
4. Jus Apel
5. Jus Java Lemon
6. Jus Mangga

Varian Produk lainnya:
Teh Rosella, Es Degan, Coktail Buah, Soy good (minuman sari kedelai)

Minggu, 03 Mei 2009

Jamur Tiram - Purwokerto

Assalamualaikum, buat semuanya

Memang cukup mudah untuk membudidayakan jamur tiram. Tetapi terkadang bahan baku sulit didapat terutama bibit dan serbuk gergaji apalagi untuk daerah perkotaan yang justru merupakan lahan pemasaran yang sangat bagus. Dengan permasalahan yang demikian tidak mustahil asa untuk berbudidaya jamur jadi berkurang atau malah mungkin tidak dijalankan karena malas yang mengakibatkan kerugian.

Jika anda ingin memulai usaha ini mungkin anda bisa bermitra dengan saya. Saya juga menjual media jamur tiram siap panen. Bentuknya sudah dibungkus dg plastik PP (polypropilen), sudah memalui tahap pencampuran, pengukusan pemberian bibit dsb. Jadi anda tinggal melakukan perawatan dg menyemprotkan air 3-5 kali setiap hari. Dan anda tinggal memanen dalam beberapa hari (tergantung umur dari pembibitannya)

Jika ada yang berminat hub. no. 02817951188, (0281) 622274 atau zanzan74@yahoo.com .

Buat Pak Nur jika ada yang berminat mohon bantuannya untuk ditujukan ke no diatas. Kami melakukan pelayanan pesan antar untuk daerah manapun. Sekedar informasi domisili saya di Purwokerto.

Selasa, 28 April 2009

Strategi pemasaran WOM terbukti efektif

Jumat, 24/04/2009 17:20 WIB

oleh : Sepudin Zuhri

JAKARTA (bisnis.com) : Strategi pemasaran melalui mulut ke mulut (word of mouth/WOM) terbukti efektif meningkatkan penjualan suatu produk, karena sekitar 68% konsumen membeli produk melalui rekomendasi dari konsumen lain.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lembaga Pemasaran Onbee menyimpulkan 89% konsumen membeli produk atas rekomendasi dan 68% konsumen atas informasi dari orang lain melalui mulut ke mulut.

Business Director Octovate--brand consultant-- Sumardy mengatakan pemasaran melalui WOM dapat meningkatkan penjualan hingga 3 kali lipat dengan catatan melalui pembicara (talker) yang memiliki jaringan dan kredibel seperti tokoh masyarakat, ibu-ibu rumah tangga, anak muda yang berpengaruh dan lainnya.

"Pemasaran melalui WOM dapat menekan anggaran pemasaran di tengah krisis selama dilakukan secara sistematis tidak hanya secara kebetulan," ujarnya saat memaparkan Pemasaran melalui WOM hari ini.

Menurut dia, produsen di Amerika Serikat dan Eropa mulai menggunakan pemasaran mulut ke mulut, setelah berusaha melakukan penghematan anggaran dengan memangkas anggaran iklan.

Penelitian tersebut dilakukan di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Makassar dan Medan yang terdiri dari 2.000 responden. Di Jabotabek terdiri dari 800 responden dan sisanya di empat kota. Responden itu berusia 15-55 tahun dengan kelas sosial A-E.

Produk yang ditanyakan kepada konsumen dalam penelitian tersebut terdiri dari 100 kategori dan masing-masing kategori terdiri dari 3-7 jenis produk. Seluruh kategori produk tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 5 kelompok produk yakni produk rumah tangga seperti sabun, shampo, pasta gigi dan lainnya, kategori produk transportasi, kategori produk leasing, makanan dan minuma dan produk kecantikan.

Dia menuturkan sekitar 83% konsumen yang berusia 25-34 tahun akan mempercayai suatu produk berdasarkan apa yang mereka lihat, baca atau mendengar tentang perusahaan produk tersebut dari orang lain. Sebanyak 56% Konsumen berusia 35-64 tahun dan 63% konsumen berusia 25-34 tahun akan membagi pengalamannya dan pendapat tentang produk suatu perusahaan yang mereka percaya kepada orang lain. (tw)

bisnis.com

http://www.facebook .com/ext/ share.php? sid=73854621861&h=wLspn&u=PPJPS

Senin, 13 April 2009

Rumput Laut di Lembar Kertas

01 January 2008
Kertas diproses dari limbah agar-agar tanpa bahan kimia, berserat agalosa yang homogen, massal dan ramah lingkungan

Seorang lelaki tinggi besar berpotongan rambut crew cut menyodorkan selembar kertas di depan Trobos dan beberapa kuli tinta lainnya. Tak ada yang ajaib pada kertas putih bersih tersebut. Hanya saja ketika diraba, permukaan kertas itu lebih halus, seperti kertas mahal yang dipakai majalah Time.
Churl Hak You¯nama lelaki itu¯mengatakan,  kertas itu memang bukan kertas biasa yang berbahan baku kayu, melainkan kertas yang dihasilkan dari rumput laut klas algae merah (Rhdophyta).
You yang berkebangsaan Korea Selatan kemudian berkisah, suatu hari agar-agar yang menjadi menu dietnya jatuh ke lantai rumahnya. Dia punguti ceceran makanan kenyal itu yang sekilas mirip bubuk kertas. Di saat itu pula otaknya bekerja lalu sampai pada pertanyaan, "Mengapa agar-agar ini tidak dibuat kertas?" ujarnya.
You yang sebenarnya tamatan fakultas sastra lantas mencari referensi jenis rumput laut yang bisa menjadi bahan baku pulp atau bubur kertas. Untuk itu, You rela menjelajah Amerika, Jepang, China,Vietnam dan Thailand. Akhirnya pada 2003, dia mendapat paten dari Korea dan Amerika tentang proses produksi kertas berbahan baku algae merah (Gelidium amansii dan Pterocladia lucia).
Sayangnya, di Negeri Ginseng yang subtropis, algae merah cuma bisa panen saat musim panas, Mei dan Juni. Fakta tersebut menuntun langkahnya sampai di Indonesia dan bertemu Grevo S Gerungan, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dari Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Panen Sepanjang Tahun
Sejak 2006 You dan Grevo melakukan budidaya algae merah di pesisir Nusa Lembongan, Bali dan Lombok. "Kami bekerjasama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) juga dengan Balai Budidaya Laut (BBL) Lombok," kata You. Di Indonesia, budidaya algae merah bisa dipanen sepanjang tahun yaitu dalam waktu 70 hari dengan hasil 4 kali biomass bibit.
Yang menggembirakan lagi, "Dari hasil survei kami, sepanjang pantai selatan mulai dari Pamengpeuk (Garut) sampai Kupang (NTT) sangat berpotensi untuk budidaya algae merah". Tak heran jika kemudian You mendirikan perusahaan Pegasus Internasional guna mendanai riset di Lombok. Dan Samsung Corporation, konglomerat asal Korsel berada di belakangnya.
"Sekarang kami sedang menangani Ptilophora, Pterocladia capillacea (Gelidium) dan satu jenis lagi yang akan dikembangkan, nama lokalnya beludru," imbuh Grevo. Saat ini, katanya, telah ada 5000 thallus benih. Sementara untuk keperluan budidaya dibutuhkan 100 ribu thallus per-hektar lahan. Grevo mengaku, proses pembenihan ini tidak mudah karena masih harus mengambil dari alam. "Kita butuh waktu sampai 3 tahun untuk mendapatkan 5000 thallus benih, itu pun dengan berkali-kali gagal," ucapnya.
Untuk pengembangan selanjutnya akan dibangun satu pabrik pulp di setiap 500 hektar lahan. Grevo memperkirakan, setiap hektar lahan akan butuh 2 petani. Setiap hektar akan menghasilkan 200 ton rumput laut per-tahun. Pulp yang bisa dihasilkan mencapai 30% dari rumput laut kering.
You menambahkan, dana pembangunan satu pabrik pulp mencapai US$ 2 juta atau sekitar Rp 18 miliar. Meski demikian, masyarakat juga bisa membuat pabrik ini karena teknologinya sederhana. "Seperti menggunakan mesin mixer," jelas You. Grevo memprediksi pada awal 2009 sudah bisa terealisasi. Disain pabrik rencananya akan mengambil dari Jepang.

Tak Ada Limbah
Proses pembuatan kertas dari rumput laut, tidak berbeda dari pembuatan kertas dari kayu. Ada lima proses pokok, yakni penyiapan bahan baku, pemasakan rumput laut, ekstraksi rumput laut, pemutihan dan pencetakan
Secara runtut, proses produksi dimulai dari panen rumput laut merah, kemudian dijemur, dibersihkan, dan dipotong-potong. Lalu dimasukan dalam tungku dan dimasak pada suhu tinggi (boiling), sehingga keluar ekstrak "inti" berupa agar untuk pangan.
Ampas rumput laut—yang telah diambil agarnya—kemudian diputihkan (bleaching) lalu dihancurkan jadi bubur rumput laut merah (pulp). Bubur inilah yang kemudian diolah jadi kertas. "Industri kertas ini tidak bersaing dengan industri agar-agar. Kita jusru memanfaatkan limbah agar-agar," ujar Grevo
Bila dibandingkan, proses produksi kertas dari kayu, sarat akan bahan kimia seperti NaOH dan Na2S (untuk memisahkan serat selulosa dari bahan organik). Dan, berefek gas yang berbau dan mengandung hidrogen sulfida (H2S), methyl mercaptan (CH3SH), dimethyl sulphide (CH3SH3), dimethyl disulphide (CH3S2CH3) dan senyawa gas sulfur.
Hal inilah yang membuat operasional pabrik kertas berbahan baku kayu hampir selalu berbenturan dengan kepentingan lingkungan hidup. Sementara pengolahan produksi kertas dari rumput laut, diproses nyaris tanpa bahan kimia selain pemutihan dengan klorin. Dan yang terpenting, menurut You, hampir tidak ada limbah yang keluar, sehingga tidak berdampak bagi kesehatan.

Selengkapnya baca Majalah TROBOS edisi Januari 2008

Selasa, 07 April 2009

Kampung Tempe, Bebas Krisis Ekonomi

Liputan 6 - Kamis, Maret 19, 2009

Liputan6.com, Malang:

Dunia boleh saja diterpa krisis ekonomi global, tapi imbasnya ternyata tak sampai ke Kampung Sanan di Malang, Jawa Timur. Sudah turun-temurun penduduk kampung ini sibuk dengan rutinitas memproduksi tempe. Hampir 80 persen warga kampung bekerja sebagai produsen tempe. Itu sebabnya kampung ini kerap pula disebut Kampung Tempe.

Berkat tempe, bisa dibilang hampir tak ada pengangguran di kampung ini. Persaingan bisnis yang sehat membantu pengembangan produksi tempe di kampung ini. Tak hanya menyuplai tempe mentah, warga di kampung ini juga membuat produk tempe olahan, seperti kripik tempe.

Berkat tempe pula warga Kampung Sanan sekarang mempunyai bisnis sampingan baru, yakni penggemukan sapi. Peternak tinggal memanfaatkan ampas kedelai atau limbah produksi tempe sebagai makanan utama sapi. Selain mudah mendapatkannya, sapi pun lebih cepat gemuk ketimbang mengkonsumsi rumput.

Berkembangnya bisnis di kampung ini membuat roda ekonomi terus berputar dan hampir tidak terkena dampak krisis. Bahkan kini di kampung tersebut mulai banyak berdiri sentra penjualan oleh-oleh. Produsen dari kampung lain pun banyak menitipkan produk makanan ringannya di sini.(TES/Noor Ramadhan dan Eko Saktia)

Selasa, 31 Maret 2009

Salah urus UMKM

KR. 27/03/2009 09:30:31 

Oleh : Hempri Suyatna

PEMBERITAAN media mengenai Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) cukup membuat kita miris. Mulai, Nilai Ekspor Terus Merosot (KR, 6/2/2009), Negara Tujuan Stop Pembelian, Ekspor UKM Turun (KR, 10/2/2009), Perajin Bambu Terhambat Permodalan (KR, 14/2/2009) hingga Selama 4 Bulan, Ekspor Turun Terus (KR, 3/3/2009). Sungguh sangat ironis.
Karena di tengah gencarnya pemerintah melaksanakan kebijakan-kebijakan yang pro-UMKM bahkan mengklaim keberhasilan kebijakan tersebut, ternyata persoalan yang menerpa sektor UMKM juga tidak pernah ada habisnya. Sektor ini masih saja terpuruk. Realitas tersebut paling tidak juga menunjukkan bagaimana kuatnya muatan politis di balik gencarnya pemerintah mengucurkan berbagai program pengembangan UMKM akhir-akhir ini.
Klaim keberhasilan yang dilakukan oleh pemerintah memang sah-sah saja. Akan tetapi klaim yang tidak didasari atas realitas yang terjadi di tingkat bawah justru hanya akan semakin menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya tidak pernah serius dalam menangani sektor UMKM. Adakah yang salah dengan kebijakan-kebijakan UMKM selama ini?
Tampaknya demikian. Salah urus merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana carut-marutnya program-program pengembangan UMKM di Indonesia. Jika dicermati, kebijakan-kebijakan UMKM selama ini hanya menyentuh pada persoalan kultural saja dan mengabaikan persoalan struktural yang sebenarnya juga menjadi faktor penting yang menghambat UMKM maju.
Struktur perekonomian yang terlalu berpihak kepada pengusaha besarlah yang sebenarnya menghambat UMKM untuk maju. Sayangnya, para perencana kebijakan kurang memperhatikan hal tersebut sehingga kebijakan-kebijakan UMKM cenderung hanya berorientasi pada upaya meningkatkan permodalan,  memperluas jaringan pemasaran maupun  mempermudah akses teknologi.
Model kebijakan yang sebenarnya gagal pada rezim  sebelumnya diulang terus menerus dengan label kebijakan yang berbeda namun secara substansial sama.
Implikasi dari hal tersebut menyebabkan kebijakan yang ada hanya mampu membuat UMKM  sekadar bertahan hidup saja akan tetapi kebijakan tersebut tidak pernah mampu membuat UMKM mampu mengatasi persoalan-persoalan yang menyebabkan mereka tidak dapat berkembang apalagi memiliki daya saing.  Berbagai contoh kebijakan di Indonesia menunjukkan bagaimana tidak perhatiannya pemerintah dalam menghilangkan aspek- aspek struktural yang menghambat efektivitas bekerjanya kebijakan UMKM. Sebagai contoh, bagaimana UMKM dapat berkembang jika di saat pemerintah gencar mengucurkan berbagai bantuan untuk UMKM akan tetapi di sisi lain pemerintah juga memberikan peluang besar bagi sektor kapitalistik untuk melakukan ekspansi usaha mereka. Akibatnya sektor UMKM banyak yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing.
Lihat saja sekarang, berapa banyak industri tekstil dalam negeri yang harus gulung tikar karena pasar dalam negeri telah dikuasai 77% produk tekstil di mana 70% persennya masuk secara ilegal. Contoh lain di mana banyak pasar tradisional yang merupakan wadah perekonomian rakyat kecil yang sudah gulung tikar karena pemerintah  terlalu memanjakan berdirinya pusat-pusat perbelanjaan modern seperti minimarket dan supermarket.
Survei AC Nielsen menyatakan jumlah pasar tradisional pada tahun 2000 masih 78,3% dari total pasar. Namun, pada tahun 2005 jumlahnya menurun menjadi 70,5%. Bahkan pada tahun lalu diperkirakan jumlah pasar tradisional berkurang menjadi hanya 65% dari total jumlah pasar di Indonesia. Data dari Asosiasi Pedagang Seluruh Indonesia juga membuat kita turut prihatin. Pada tahun lalu, sebanyak  4.707 pasar tradisional atau sekitar 35% dari total pasar tradisional yang ada di Indonesia ditinggalkan pedagang karena pasar tradisional kalah bersaing dengan retail modern di lokasi sama (Gatra, 29/1/ 2009). 
Hal esensial lain yang menyebabkan UMKM di Indonesia tidak berkembang adalah  kesalahan perencana kebijakan UMKM dalam memahami filosofi pelaku UMKM yang sebagian besar merupakan masyarakat miskin.  Masyarakat semacam ini memiliki karakteristik dan  strategi survival sendiri  yang  tidak dapat didekati dengan pendekatan-pendekatan  yang bersifat ekonomis maupun pendekatan individual. Selama ini, relasi-relasi sosial dan modal sosial di antara pelaku UMKM-lah yang dapat membuat sektor UMKM  mampu bertahan. Sayangnya, aspek ini cenderung diabaikan. Indikator kemajuan UMKM hanya dilihat dari sisi ekonomis semata seperti tingkat pendapatan, omzet penjualan dan sebagainya. Batasan UMKM sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008  juga hanya mengacu pada ukuran-ukuran ekonomis seperti kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan. 
Dapatkah salah urus kebijakan tersebut diperbaiki? Tentunya tidak ada kata terlambat dengan catatan perhatian atas aspek struktural kebijakan dan pemahaman akan filosofi pelaku UMKM harus menjadi perhatian bagi para perencana kebijakan. Pola-pola pikir kapitalistik yang selama ini masih saja terus mewarnai berbagai kebijakan pembangunan di Indonesia harus diubah dengan menjadikan pengembangan  UMKM sebagai prioritas utama kebijakan. Tanpa hal ini, sektor UMKM hanya akan menjadi 'anak tiri' terus dalam proses pembangunan. Dalam konteks ini, komitmen dan kekonsistenan kebijakan menjadi kata kunci.
Selaras dengan hal tersebut, kebijakan UMKM  harus menempatkan aspek non material sebagai basis pengembangan program. Oleh karena itu, penguatan aliansi strategis antarpelaku UMKM adalah agenda utama yang harus dilakukan. Kolektivitas dan  relasi-relasi sosial di antara pelaku UMKM perlu terus dibangun sehingga mampu menjadi kekuatan sosial dalam membendung ekspansi kapitalisme. Melawan kapitalisme dengan mengandalkan basis materi ekonomi adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin bagi pelaku UMKM, akan tetapi melawan kapitalisme dengan membangun gerakan sosial bersama di antara pelaku UMKM adalah sesuatu yang sangat mungkin dan harus diwujudkan.

(Penulis adalah Dosen Fisipol UGM)-z

Selasa, 17 Maret 2009

Kompor Buah Sawit yang Anti-Meleduk

Selasa, 17 Maret 2009 | 09:24 WIB

Laporan wartawan KOMPAS Ratih P Sudarsono

KOMPAS.com - Purwarupa (prototype) kompor berbahan bakar buah sawit dan etanol diuji coba sejumlah ibu-ibu pensiunan PT Persero Pertamina di rumah Ny Hartini (60) di Kompleks Pertamina Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur, Senin (16/3) sore. Mereka puas kue, sayur, d an ikan yang dimasak dapat matang sempurna, tanpa mengurangi citra rasa masakannya.

"Masakannya enggak bau sawit. Kalau pakai kompor minyak tanah, kadang masakan agak berbau minyak tanah karena kena asap kompornya. Tapi di Jakarta susah dapat buah sawit," kata Ny Atie.

Teman-temannya pun bersahutan membenarkannya, tentunya sambil ikut-ikut mencicipi kue nastar dan cah kangkung yang masih hangat, masakan mereka sendiri. Lalu celetuk Ny Vivi, "Benar nih, Yu, kompor ini tidak akan meleduk, kayak kompor minyak."

Yu yang dimaksud Vivi tidak lain adalah Bayu Himawan, pencipta kompor berbahan bakar buah sawit kering dan etanol itu. "Dijamin, kompor ini tidak akan meleduk. Juga kompor etanol-nya, enggak akan meledak," katanya.

Tidak bersumbu

Bayu menuturkan, purwarupa kompor sawit dan kompor etanol itu karyanya bersama Achmad Witjaksono dan Eko Widaryanto. Ketiganya adalah anggota tim peneliti/pencipta teknologi tepat guna yang dibina Prof Budhisantoso, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Sosial Budaya

Selama tiga bulan mereka mencoba mewujudkan kompor-kompor yang hemat energi atau menggunakan energi alternatif. Apalagi, sejumlah pihak telah mencoba menciptakan kompor-kompor berbahan bakar etanol atau energi alternatif lainnya, namun belum sempurna kerjanya.

"Untuk kompor sawit sudah kami ajukan hak patennya dengan nomor P00200900100. Saat ini kami sedang membuat 50 kompor lagi, sebagai tahap awal untuk kami perkenalkan secara resmi kepada masyarakat umum . Kalau kompor etanol, belum, karena penampilannya masih harus kami sempurnakan. Yang pasti, kompor etanol kami benar-bebar menghasilkan panas yang dibutuhkan untuk memasak dengan cepat dan aman," jelasnya.

Kompor sawit ini anti meleduk karena tidak memakai sumbu. Perut kompor terdiri dari dua bagian, yakni tangki penampungan dan pembakaran buah sawit di bagian bawah dan sarangan pengatur api di bagian atas. Kerja kompor ini adalah memanfaatkan aliran udara dari bawah yang menuju keatas akibat adanya api pada buah sawit yang dibakar di tangki penampung sawit. (Timbulnya api karena sebelumnya dipicu dengan menggunakan etanol, sepirtus, atau cairan lainya yang mudah disulut api).

Dari perut bagian bawah itu, aliran udara ini terus menuju sarangan atas kompor. Fungsi sarangan ini adalah untuk memfokuskan api yang timbul melalui susunan tiga lapis sarangan dengan lubang-lubang udara yang terdapat pada pelat sarangan.

Pada perut atas ini, api yang dihasilkan diarahkan menuju ke atas dengan pengaturan melalui lubang angin dari samping. Kemudian api difokuskan pada ujung sarangan terkecil yang berada di tengah sistem sarangan, sehingga panas yang dihasilkan terkosnetrasi/terpusat. Ini juga karena sarangan di tengah memiliki lubang yang berfungsi memusatkan api pada kompor.

"Api yang dihasilkan dapat dibesar atua dikecilkan sesuai keinginan penggunaannya. Harga kompor ini kami perkirakan antara Rp 70 ribu sampai Rp 150 ribu per buah," tambah Bayu.

Butuh dua pohon sawit

Kompor sawit ini memang cocok untuk masyarakat pedesaan yang ada perke bunan sawit atau warga masyarakat yang memiliki dua pohon sawit. Satu kilogram buah sawit kering, dapat digunakan untuk memasak selama tiga sampai empat jam.

"Satu pohon itu menghasilkan satu tandan buah sawit yang beratnya minimal 25 kilogram. Jadi kalau dua pohon, tersedia 50 kilogram buah sawit per bulan. Ini artinya dapat untuk masak selama 150 jam atau 50 hari kalau per harinya harus memasak selama tiga jam. Bayangkan kalau kita tidak usah lagi membeli minyak tanah atau elpiji," tuturnya.

Untuk kompo r berbahan bakar etanol, Bayu juga memastikan, kompor itu anti meledak atau kebakaran. Sebab, gas yang untuk pembakarannya, baru dibuat saat kompor diaktifkan. Lain dengan kompor gas yang ada, dimana gas elpijinya sudah ada dalam tabung.

"Kami belum mempatenkan kompor gas etanol ini karena bentuk tampilan kompor masih akan kami sempurnakan. Tabung-tabung berisi cairan etanol dan bensin serta alat untuk menciptakan gelembung masih telanjang, belum kami buat dalam satu wadah yang kompak dan estetik," katanya.

Dia menambahkan, penciptaan kompor sawit dan kompor etanol itu karena ingin menciptakan kompor berbahan bakar alternatif dan juga menghidupkan kembali industri/ kerajinan kompor rakyat, yang mandek akibat penggunaan kompor minyak tanah berkurang drastis.

 KOMPAS Ratih P Sudarsono

Top of Form

Bottom of Form

Sabtu, 14 Maret 2009

Bahaya Impersonation

Senin, 23/02/2009 08:45 WIB
Jangan Umbar Data, Teman dan Foto di Facebook!
Penulis: Donny B.U. - detikinet

Facebooker (dbu)

Jakarta - Jangan terlalu lengkap memasang profil diri dan foto di Facebook! Jangan terlalu gampang berteman di Facebook! Waduh, seruan tersebut tentunya tidak terlalu populer, atau cenderung diabaikan, bagi para Facebooker sejati. Ya memang, karena dengan bergesernya konsep dan ide sebuah pertemanan, maka tak apalah pada kenyataannya kita hanya punya segelintir teman di dunia nyata sepanjang punya berjibun (ratusan, ribuan) teman di situs jejaring sosial.

Seolah-olah dengan demikian keeksisan Anda adalah seberapa banyak teman yang dimiliki. Padahal dengan semakin banyak teman, yang kadang hanya teman sekedar kenal atau bahkan tak ingat lagi siapa dia atau bertemu dimana, maka semakin rentan terekspos data diri kita ke pihak-pihak di luar kontrol kita.

Walhasil, dengan demikian Anda akan semakin mudah menjadi korban 'impersonation' .

Kasus

Tulisan ini sengaja saya buat dan saya titipkan ke detikINET, karena ada satu kasus yang langsung menimpa salah satu mahasiswi saya di sebuah perguruan tinggi swasta tempat saya mengajar. Si mahasiswi tersebut belum lama berselang mengadukan kisahnya kepada saya bahwa hampir tiap saat dirinya melalui ponsel dihubungi orang yang tidak dikenal, bahkan di tengah malam sekalipun.

Setelah saya gali informasi lebih lanjut, ternyata saya temukan bahwa data dirinya di Facebook, entah oleh siapa, di-copy dan dijadikan sebuah blog di Blogspot.com. Blog tersebut seolah-olah dikelola langsung oleh si mahasiswi tersebut. Inilah yang disebut dengan kasus 'impersonation'

Bahkan si pelaku (impersonator) , memindahkan sebagian foto-foto si mahasiswi tadi dari Facebook ke sebuah situs penyimpanan foto gratisan, imageshack.us. Isi blog tersebut, cenderung berupa pencemaran nama baik dan melecehkan martabatnyat sebagai wanita.

Celakanya lagi, di blog tersebut dicantumkan pula nomor ponsel yang sehari-hari digunakan oleh mahasiswi tersebut. Maka, hampir tiap saat dia harus menjelaskan bahwa dirinya bukanlah seperti apa yang tertulis di blog pada setiap penelpon yang masuk.

Penyelesaian

Kasus ini agak rumit, karena tempat si impersonator meletakkan data-data dan foto-fotonya berada di luar ranah Indonesia . Tetapi upaya tetap harus dilakukan. Di blogspot.com atau blogger.com, ada fasilitas untuk melakukan 'flag blog', dengan pilihan 'impersonation' . Kita harus meng-attached hasil scan KTP atau SIM yang dapat membuktikan bahwa kita adalah korban dari pelaku impersonation.

Setelah kita men-submit, maka kita tinggal menunggu keputusan dari pengelola layanan blog tersebut untuk mencabut atau menghapus alamat blog yang menjadi keberatan kita.

Pun setali tiga uang dengan foto-foto yang terlanjur tersimpan di imageshack. Ada fitur untuk melaporkan dan meminta penghapusan foto-foto yang kita anggap materi berhak cipta, mengandung unsur pornografi ataupun kekerasan. Asumsinya, foto yang diambil dari akun Facebook kita tanpa seijin kita, adalah foto yang melanggar hak cipta.

Pencegahan

Agar kasus tersebut tidak terulang kepada siapapun, maka ada baiknya langkah-langkah pencegahan berikut ini bisa dijalankan ketika di dunia Facebook:

1). Jangan terlalu lengkap memasang profil atau data diri di Facebook. Tentunya semakin lengkap profil/data diri terpasang, semakin mudah mendapatkan teman. Tetapi di sisi lain, semakin beresiko pula data diri kita disalah-gunakan (abused)

2). Jangan memasang foto-foto diri Anda yang sekiranya Anda sendiri tidak akan merasa nyaman apabila foto tersebut tersebarluaskan secara bebas. Ingatlah, walau foto tersebut "hanya" diposting di akun Facebook Anda, sebenarnya itu sama saja dengan menyebarlukaskan foto tersebut ke publik. Sekali terposting dan tersebar, maka sangat sulit (dan nyaris mustahil) Anda bisa mencabut foto Anda dari Internet. Maka, selektiflah dalam berpose dan memposting foto Anda..

3). Jangan sembarangan 'add friend' atau melakukan approval atas permintaan seseorang untuk menjadi teman Anda. Cara memilah dan memilihnya mudah, yaitu lihat saja berapa jumlah "mutual friends" antara Anda dengan seseorang tersebut. Semakin sedikit "mutual friends"-nya, berarti semakin sedikit teman-teman Anda yang kenal dengan dirinya, yang berarti semakin beresiko tinggi. Pastikan Anda hanya menerima "pertemanan" yang "mutual friends"-nya cukup banyak.

4). Jangan sembarangan menerima tag photo. Bolehlah kita "banci tagging", tetapi berupayalah lebih selektif. Artinya, sekali Anda terjun ke Facebook, rajin-rajinlah memeriksa "keadaan sekeliling". Karena kita kadang menemukan foto diri kita yang di-upload dan di-tag oleh orang lain, padahal kita tidak suka foto tersebut disebarluaskan. Segera saja kita "untag" diri kita dari foto tersebut dan kalau perlu minta teman kita yang melakukan upload foto tersebut untuk mencabutnya.

5). Jangan tunda-tunda, ketika Anda menemukan data atau profil Anda digunakan oleh pihak lain untuk hal-hal di luar kontrol Anda, segeralah bertindak. Membiarkannya, justru akan membuatnya makin berlarut dan berdampak destruktif, setidaknya untuk kenyamanan diri sendiri. Laporkan langsung ke pengelola layanan tempat kejadian 'impersonation' , untuk segera mencabut informasi aspal (asli tapi palsu) tersebut. Atau, mintalah bantuan pada orang atau pihak yang sekiranya bisa atau paham bagaimana mengatasi hal di atas.

*) Penulis, Donny B.U., adalah penggiat kampanye "Be Wise While Online" dalam program Internet Sehat - ICT Watch. Untuk artikel terkait lainnya, dapat dibaca di http://www.ictwatch .com/internetseh at atau http://www.internetsehat.org

Rabu, 11 Maret 2009

Menyulap Lembaran Kulit Jadi Duit


Suhendra – detikFinance Sabtu, 14/02/2009 10:41 WIB

Cimahi - Usia senja bukanlah hambatan untuk memulai usaha. Setelah malang melintang menjadi orang gajian selama berpuluh-puluh tahun, Darwansyah Tanjung menemukan usaha pengolahan kulit hewan yang ternyata untungnya tidak sesenja usianya.

Pria asal Cimahi menemukan pilihan hidupnya sebagai pengusaha setelah diusia 50-an tahun. Dirinya kini menjadi perajin pengolah kulit hewan seperti ular, biawak, kerbau, buaya, sapi yang diolah menjadi berbagai macam aneka produk menarik.

Berawal dari hanya sebatas menjual produk-produk jaket non kulit, kemudian berkembang menjadi perusahaan pembuat produk aneka kulit seperti jaket, sepatu, topi, tas, ikat pinggang kulit yang cukup diperhitungkan di pasar dalam negeri maupun pasar ekspor.

"Tidak ada kata terlambat, usaha itu kayak air yah, dari bermula ada yang menanyakan barang jaket kulit, lalu saya sediakan, sampai sekarang berlanjut," jelasnya.

Mau tau rahasianya? Menurutnya syarat menjadi seorang pengusaha ada dua yaitu berani mencoba dan berani mencoba lagi. Modal uang baginya adalah nomor dua, kepercayaan diri bagi seorang pengusaha mutlak tertanam.

"Yang penting pede, berani coba. Saya ini mantan karyawan PT DI (Dirgantara Indonesia), awalnya nggak ngerti soal menyoal kulit, tapi saya mau menyoba," ujarnya.

Memulai usahanya sejak 5 tahun lalu, Darwansyah hanya bermodalkan uang kurang dari Rp 20 juta dari kantong sendiri. Lambat laun modalnya berputar kencang sehingga uang miliaran rupiah pun selalu mampir di kantungnya setiap tahun. Selama kurun waktu itu juga ia telah menyebar produk kulitnya ke berbagai negara tujuan ekspor seperti Malaysia, Australia, Amerika dan Prancis.

Mantan pegawai Mercedez Bens ini juga sempat belajar membuat produk kulit dari temannya. Rupanya bekal bekerja di PT DI di bagian direktorat teknologi (design) membuat dirinya mudah menguasai teknik membuat produk kulit.

Untuk bahan baku kulit, ia dengan mudah mendapatkan pasokannya baik dari teman maupun langganan di beberapa tempat di Sumatera. Harga bahan bakunya pun bervariasi misalnya untuk kulit ular sanca bisa diperolehnya dengan harga Rp 300.000 per meter. Dari sekian jenis kulit, harga kulit buaya lah yang paling mahal, yaitu menembus angka Rp 200.000 per inci.

Darwansyah dengan bangga mengatakan, dimasa awal usahanya ia langsung dapat orderan untuk 600 potong jaket kulit TNI, ini tidak terlepas dari jasa temannya yang menawarkan orderan.

Walaupun sudah tenar dimana-mana, ia mengakui memasarkan produk kulit berbasis ekspor dengan merek sendiri, selama ini tidak mudah. Umumnya para pembeli (buyer) asing menginginkan label asing dan meminta pencantuman negara tujuan ekspor bukan Indonesia. Meskipun saat ini ia memiliki merek sendiri yang diberinama Dong Jung.

"Mereka (pembeli asing) inginnya merek mereka yang dipakai, saya sanggupi karena apa boleh buat kita butuh uang," pungkasnya.

Produk yang dijualnya umumnya relatif menempati produk kelas atas, setidaknya dapat dilihat dari harga satu pasang sepatu kulitnya bisa mencapai US$ 500 per pasang, atau harga termurah mulai dari Rp 600.000 sampai Rp 5 juta. "Yang terakhir mereka pesan 1000 sampai 2000 pasang sepatu, tapi mungkin karena krisis ditunda," ujarnya.

Bicara keuntungan dari bisnis ini, cukup menjanjikan, pasalnya setiap produk yang dibuat, ia mampu mengantongi margin bersih 30% sampai 100%.

"Karena harga produk kulit asli itu gelap, berapa pun harganya orang akan beli, kalau dia suka," ungkapnya.

Ia mampu membukukan penjualan Rp 200 juta per bulannya, atau menembus miliaran rupiah per tahun. Namun sayangnya dengan jumlah produksi yang terbatas itu, ia masih keteteran untuk meladeni permintaan produk kulit khususnya sepatu.

"Sekarang ada pesanan dari Jakarta minta stand di Pasar Raya Grande ukuran 40 sampai 60 meter, tapi saya belum sanggupi," ucapnya.

Terinspirasi dengan usaha Darwansyah, bisa hubungi:

DONG JUNG (Darwansyah Tanjung)
Alamat: Jl. Kompleks Nata Endah Blok N 12, Cihanjuang Cimahi Jawa Barat.
(hen/ir)

Rabu, 04 Maret 2009

112 Industri Kecil di Winongo Belum Punya IPAL

Rabu, 4 Maret 2009 | 19:46 WIB

Laporan wartawan KOMPAS Defri Werdiono

YOGYAKARTA, RABU — Sekitar 112 industri skala kecil di sepanjang bantaran Sungai Winongo di Kota Yogyakarta belum memiliki instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) komunal. Ada indikasi mereka membuang sisa hasil produksi ke sungai.

Kepala Subseksi Bidang Pemulihan Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta Pieter Lawoasal mengatakan, industri tersebut terdiri atas industri tahu, tempe, mie, dan kecap. Kawasan industri kecil lainnya yang belum memiliki IPAL komunal berada di Patuk, yakni industri makanan kecil bakpia. Menurut Pieter, mereka membuang ke saluran limbah yang diperuntukkan bagi limbah rumah tangga.

Karena belum ada IPAL maka timbul bau menyengat dan pencemaran lingkungan, ujar Pieter di sela-sela sosialisasi pembangunan IPAL komunal di Darakan, Kota Gede, Rabu (4/3). Selain warga dan pihak pemerintah, turut hadir pada kegiatan ini LSM Environmental Services Program (ESP) dan LSM Lestari.

Keberadaan IPAL komunal, menurut Pieter, memiliki fungsi penting untuk menjaga kondisi lingkungan, baik itu air maupun tanah dari zat-zat pencemar. Pieter mencontohkan, kandungan bakteri ecoli di daerah yang memiliki IPAL komunal menunjukkan perbaikan. Jika pada pengukuran sampel (sebelum ada IPAL) jumlah bakteri ecoli mencapai 2400 mnp. "Setahun kemudian (setelah ada IPAL) menunjukkan angka ecoli-nya 100 mnp," ujarnya.

BLH sendiri tahun ini akan membangun satu unit IPAL komunal di lingkungan industri kecil tahu dan tempe di wilayah Prenggan senilai Rp 200 juta menggunakan dana alokasi khusus. Tahun lalu, telah dibangun satu unit IPAL serupa di daerah Wirobrajan. Bahkan, gas yang dihasilkan oleh IPAL ini telah dimanfaatkan oleh sekitar 25 industri rumah tangga. Sedangkan tahun 2000 telah dibangun empat unit IPAL komunal di Ngampilan dan dimanfaatkan oleh 20 industri.

Community Base Water and Sanitation ESP Oni Hartono mengatakan, penerapan IPAL komunal untuk limbah industri tahu dan tempe berbeda dengan limbah rumah tangga (MCK). Diperlukan penanganan tersendiri untuk mengelolanya. Selama ini ESP banyak terlibat dalam penanganan IPAL komunal rumah tangga.

Meski di bantaran Winonggo berdiri banyak industri kecil, ternyata kadar pencemar masih di bawah Gajah Wong. Penyebabnya, kondisi daerah aliran Gajah Wong tidak sepanjang Winongo. Ada informasi dari peternak ikan bahwa kolam yang memperoleh air dari Gajah Wong harganya cenderung lebih rendah. Rasanya juga tidak terlalu enak, meski semua ini masih perlu dibuktikan, ujar Agus Hartono, Direktur LSM Lestari.

Minggu, 15 Februari 2009

Perlunya Manajemen

Pada hari Satu, 14 Februari 2009,saya mengadakan perjala ke Jember unstuck suatu urusan, yaitu mengambil alat-alat bantuan pada suatu UKM yang menalami kegagalan. Sebenarnya suatu yang menyedikhan bagi kami jika harus menarik alat yang telah kami tempatkan pada suatu UKM, namun tentunya lebih menyedihkan lagi jika alat tersebut tidak dapat dimanfaatkan dan menjadi onggokan rongsokan, sementara UKM lain mungkin dapat memanfaatkan.

Saat bertemu dengan sang pemilik UKM, beliau menyatakan sudah tidak sanggup lagi melakukan usaha karena rasanya sudah mentok untuk berbuat dan akhirnya memutuskan untuk berhenti. Usaha bapak ini sbenranya terbilang sukses. Pada awal kita melakukan pembinaan, usaha beliau sangat kecil dan beranjak dari menjual kerupukbikinan orangtuanya yang cukup juah dari Jember yaitu di Ambulu. Kemduain dengan tekun dia melakukan perubahan menjadi berproduksi beberapa produk seperti bumbu instan, terasi ikan kemas bahkan sebenarnya untuk langkah kedepan telah kami siapkan alat untuk produk-produk kemas vakum.

Ketika usahanya berkembang, kesalahan yang beliau alami sebenarnya terletak pada manajemennya. Beliau tidak mudah percaya begitu saja pada orang, bahkan pada karyawannya yang kita rekomendasikan untuk membantu beliau dalam bidang administrasi atau keuangan, agar beliau tidak terlalu sibuk. Dia menjadi one man show, dia bekerja mulai dari mengawasi pembelian bahan baku, proses produksi, meemsan label dan kemasan, sampai mencari pasar dan mengatur keuangan. Dalam hal ini,istrinyapun tidak terlibat.

Langkah beliau pada awalnya atau saat industrinya belum begitu meluas, memang ia sanggup mnangani, namun saat semakin besar, ia disibukkan oleh banyak urusan yang sebenarnya dapat ia limpahkan. Mestinya UKM yang mulai berkembang, sang pemilik harus mulai berusaha untuk mengatur manajemen usahanya. Mulai mendelagasikan tugas ke yang lain sehngga secara bertahap berubah dari pemilik yang juga pekerja menjadi pemilik yang juga manajer ataupun direktur.

Dalam kebingungan mengatur lajunya perusahaan ia mulai terkena persoalan yang terjadi dalam dunia bisnis yaitu penipuan.dia tertipu oleh seseorang dariluar pulau sehingga rugi jutaan rupiah. Setelah kita bangkkitkan lagi dia mampu berkembang lagi, sayang dia justru semakin tidak percaya kepada orang lain sehingga banyakpesanan yang mandek karena bahan baku terhambat atau proses produksi yang menalami gangguan dan yang menyedihkan justru dia memutuskan berhenti berusaha.

Beliau tidak mau berusaha seperti temannya, yang hanya dari satu usahan membuat produk olahan tape dan menjual di salah satu ruang di rumahnya, kemudian dia sampai mampu membuka took di pusat kota Jember di Jalan Trunojoyo dengan berbagai macam produk yang dihasilkan berbasis tape namun masih tetap dapat jalan-jalan kemana-mana, bahkan beliau mentraktir kami makan siang di kota Jember.

Ironi memang dua orang yang bersahabat, yang satu mau melakukan manajemen usaha sementara yang satunya sangat takut berbagai. Bahakna ketika ia menyatakan berhenti dia bilang kalau dia akan menyerahkan usahanya ke temannya karena ia mampu melakukan manajemen dengan baik dan ia tidak sanggup untuk itu.

Andai ia mau beruabah dan belajar dari orang lain, tentunya ia tak perlu berhenti berusaha, apalagi menjadi TKI kembali, sayang ia tidak mau.

Rabu, 11 Februari 2009

BSA 2009, Cari Wirausahawan Muda Potensial

JAKARTA (KR) – 10 Feb 2009 12:25:09 

Setelah sukses menggelar Shell LiveWire Business Star-up Award (BSA) 2008, kini PT Shell Indonesia kembali melakukan kegiatan serupa, yakni BSA 2009. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan di kalangan anak muda dan memunculkan para wirausahawan muda yang menjadi inspirasi bagi kalangan muda juga.
"Kami sangat mendukung dan mengapresiasi program LiveWire BSA 2009 yang diselenggarakan PT Shell Indonesia. Program ini dapat membantu mengoptimalkan potensi generasi muda Indonesia dalam turut serta membangun negerinya," kata Deputi Bidang Kewirausahaan Pemuda dan Olahraga Menpora Sudradjat Rasyid di Jakarta kemarin.
Sri Wahyu Endah, Social Investment PT Shell Indonesia menambahkan, melalui ajang BSA 2009, Shell Indonesia mencari wirausaha muda pemula (usia 18-32 tahun) terbaik dan potensial. Untuk selanjutnya dikembangkan bisnisnya yang telah dijalankan minimal selama 3 bulan dan maksimal 24 bulan.
"Nah, bagi mereka yang terpilih, PT Shell Indonesia akan memberikan hadiah masing-masing Rp 20 juta untuk maksimal 10 pemenang," kata Sri Wahyu Endah seraya menyebutkan, para wirausaha muda yang terpilih akan memperoleh coaching dan mentoring untuk membantu mengembangkan usaha yang digelutinya.
Pendaftaran peserta BSA 2009 dimulai 5 Februari sampai 29 April. Informasi dapat diperoleh melalui Website Shell LiveWire Indonesia di www.livewire-indonesia.org atau UKM Center-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di www.ukm-center.org.
Dikatakan, BSA 2008 telah menghasilkan 9 pemenang dengan bidang bisnis beragam. Menurutnya, dalam kurun waktu kurang dari satu tahun mereka telah berhasil meningkatkan usaha bisnisnya berkat penghargaan, media exposure, coaching dan mentoring. "Karena itu, untuk melanjutkan prestasi, pada tahun 2009 Shell berharap akan lebih banyak lagi wirausaha muda pemula yang ikut berprestasi dalam kompetisi ini," tegasnya.    (Ful/San)-k

Minggu, 01 Februari 2009

Menjahit Laba dari Sandal Rumah

Kamis, 29 Januari 2009 | 11:43 WIB,

Sumber: http://kompas.com/read/xml/2009/01/29/11433451/menjahit.laba.dari.sandal.rumah

Memakai alas kaki memang sudah menjadi keharusan agar kaki senantiasa terlindungi. Sekarang ini, orang memakai alas kaki tidak hanya saat keluar rumah. Saat berada di dalam rumah, orang sudah biasa memakai alas kaki berupa sandal rumah. Biasanya, sandal ini berbentuk tipis, lembut, dan ringan.

Namun, bentuk dan warna sandal rumah yang banyak dijual di pasar cenderung tidak bervariasi. Umumnya, sandal itu hanya berwarna putih polos dan tidak ada hiasannya. Nah, seorang ibu rumah tangga bernama Irfa Aryani memanfaatkan hal ini buat berbisnis.

Irfa membuat sandal rumah dengan menambahkan pelbagai hiasan binatang pada sandal buatannya. Ia juga membuat warna sandal lebih beragam. Irfa mulai membuat sandal rumah pada tahun 2005. Modal awalnya hanya Rp 2 juta. Ia memakai uang itu untuk membeli bahan dasar berupa kain dakron untuk isian kepala sandal dan karpet tipis sebagai alas sandal. "Waktu itu, saya membuat 12 sampel sandal berbentuk binatang seperti sapi, kuda nil, dan agjing," katanya.

Irfa membuat sendiri pola sandalnya. Tapi, untuk pembuatan alas sandal dan penjahitan, seorang tukang membantunya. Setelah jadi, is menitipkan sandal buatannya ke temannya untuk dijual dengan harga Rp 19.000 per pasang. Ternyata, peminat sandal buatan Irfa ini cukup banyak.

Irfa juga sempat menitipkan sandalnya ke gerai-gerai yang ada di sebuah pusat perbelanjaan ITC di Jakarta. Tapi, ternyata di tempat ini banyak yang meniru produknya. Sehingga, ia memutuskan berhenti menitipkan sandalnya. Akhirnya, ia menjualnya sendiri dengan membuka konter atau kios sendiri sejak dua tahun silam.

Irfa juga memasarkan sandal buatannya melalui internet. Sejak itu, usahanya semakin berkembang pesat. Ia semakin banyak menerima pesanan sandal. "Kebanyakan pesanan dari luar kota yang membeli.secara grosir untuk dijual kembali," kata Irfa.

Omzet Rp 23 juta

Saat ini, jumlah karyawan Irfa bertambah menjadi lima orang. Begitu pula dengan kemampuan produksinya. Di bawah bendera usaha bernama Mozza, kini ia mampu memproduksi 600 pasang sandal per bulan. Dalam sebulan, ia bisa menuai secara eceran sebanyak 100 pasang sandal. la mematok harga Rp 60.000 untuk setiap pasang sandal.

Di luar itu, Irfa juga bisa mendapat pesanan hingga 500 pasang sandal per bulan dari penjualan grosir di luar kota. Tapi, harga grosir memang lebih murah dibanding eceran, hanya Rp 35.000 sepasang.

Dalam sebulan, omzetnya sekitar Rp 23 juta. "Marjinnya lebih besar di penjualan eceran, bisa sampai 50 persen. Kalau lewat penjualan grosir, marjinnya hanya 15 persen," beber Irfa.

Dalam memasarkan produknya, Irfa sengaja menyasar kalangan menengah ke atas. Karena itu, ia sengaja memakai bahan baku kain jenis ovelboa yang lebih halus sehingga lebih nyaman. "Walau saya menjual sandal ini dengan harga relatif mahal, mereka maklum karena kualitas sandal saya bagus," bebernya.

Cara pembuatan sandal ini relatif mudah. Awalnya, Irfa membuat pola kepala sandal, lalu dipotong. Setelah itu, bagian kepala disambung dengan alas sandal dan dijahit. Kemudian, kepala sandal diisi dengan dakron. Terakhir, sandal dijahit halus sehingga siap untuk dijual. "Scat ini, saya menjual sandal ini di dua mal besar, Plaza Semanggi dan Mal Kelapa Gading," ujar Irfa. (Kontan)

Kamis, 29 Januari 2009

Pajak untuk Iptek

Kompas, Selasa, 27 Januari 2009 | 00:54 WIB

Amin Soebandrio

Salah satu penyebab keengganan industri terlibat kegiatan iptek adalah belum adanya kejelasan kebijakan insentif.

Insentif itu terkait fiskal dan nonfiskal bagi industri yang bersedia menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membiayai penelitian.

"Revenue forgone"?

Merupakan hal yang lazim bagi negara-negara maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk memberikan perangsang atau insentif kepada industri yang menyisihkan sebagian penghasilannya guna membiayai kegiatan penelitian, baik fiskal maupun nonfiskal.

Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi menegaskan, badan usaha yang mengalokasikan sebagian pendapatan untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan insentif dalam bentuk insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis penelitian dan pengembangan.

Namun, otoritas pajak masih berkeberatan untuk menerapkannya karena amat khawatir akan menyebabkan tidak tercapainya target pendapatan negara melalui pajak pada tahun yang bersangkutan, yang mereka sebut sebagai revenue forgone.

Benarkah negara akan kehilangan penghasilannya karena digunakan untuk membiayai iptek?

Proyeksi 3-5 tahun

Benar bahwa penerimaan negara melalui pajak akan berkurang sebesar insentif yang diberikan kepada industri yang membiayai penelitian. Namun, dengan memastikan bahwa penelitian yang dibiayai industri adalah penelitian yang quick yielding, dalam waktu tiga sampai lima tahun ke depan akan diperoleh produk komersial.

Melalui suatu simulasi, dapat diperhitungkan bahwa investasi dalam beberapa penelitian sebesar sekitar Rp 12 miliar dalam dua tahun, pada akhir tahun ketiga, komersialisasi produk-produk hasil penelitian itu akan menghasilkan penjualan per tahun sekitar Rp 100 miliar dengan laba bersih sekitar Rp 20 miliar.

Seluruh penerimaan negara dari pajak-pajak penjualan, pertambahan nilai, penghasilan perusahaan, dan penghasilan perorangan terkait kegiatan ini adalah sekitar Rp 16 miliar per tahun, hampir tiga kali jumlah insentif pajak yang diberikan. Belum lagi jika diperhitungkan manfaat yang dapat dipetik dari pertumbuhan ekonomi, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan pengurangan kemiskinan yang diakibatkan.

Dari simulasi ini, jelas investasi pemerintah dalam bentuk insentif pajak untuk membiayai penelitian akan memberi manfaat berlipat dan tidak layak dianggap sebagai revenue forgone.

Pengelolaan iptek

Kegiatan iptek di Indonesia tahun 2009 perlu mendapat penanganan khusus. Sudah cukup banyak dana yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai kegiatan penelitian yang bersifat pembinaan atau sekadar untuk meningkatkan kesejahteraan peneliti. Sudah saatnya para peneliti dan lembaga penelitian memilih kegiatan yang dapat menghasilkan produk komersial yang dibutuhkan pasar dalam waktu tiga sampai lima tahun.

Pada awal tahun 2009, Kementerian Negara Ristek (cq Dewan Riset Nasional) akan mengumumkan produk-produk target dari bidang fokus teknologi pangan, energi, transportasi, informasi dan komunikasi, hankam, serta kesehatan yang diprioritaskan.

Identifikasi produk-produk target itu dilakukan bersama wakil-wakil peneliti, pengguna, dan pihak industri. Para peneliti ditantang untuk dapat bersinergi dengan sesama peneliti maupun pihak industri untuk dapat menghasilkannya. Karena penelitian ini sudah akan menghasilkan produk komersial (barang maupun jasa), pihak industri lebih tertarik untuk ikut baik dalam perencanaan, pemantauan, penyerapan, dan pemanfaatan hasil, maupun pada pembiayaannya.

Diharapkan, dengan pengelolaan iptek yang berorientasi pada produk komersial ini akan meningkatkan keberpihakan kebijakan pajak kepada iptek karena peningkatan iptek pasti akan meningkatkan penerimaan pajak.

Amin Soebandrio Deputi Pengembangan SIPTEKNAS Kementerian Negara Riset dan Teknologi

Kamis, 15 Januari 2009

Mahasiswa dan Peluang Usaha

TIDAK bisa dipungkiri, mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi (PT) mengharuskan mahasiswa dari kalangan keluarga kurang mampu harus berhemat dalam segala hal. Tak hanya uang semester yang harus dibayar, namun juga uang praktikum, pembelian buku, fotokopi dan sebagainya. Maka tak mengherankan jika untuk menyiasati kebutuhan bahan bacaan, sejumlah mahasiswa harus 'bergabung' dengan mahasiswa lain yang mampu membeli buku. Atau, setidaknya harus rajin mengunjungi perpustakaan.
Salah seorang mahasiswa dari Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) UNY, sebut saja Fiantoro, mengaku harus tahu diri dengan kondisi ekonomi keluarganya. Artinya, ia harus berhemat terutama untuk kebutuhan yang sifatnya konsumtif. "Karena biaya kuliah cukup tinggi, selain uang semester juga harus membayar uang praktik, termasuk seragam olahraga dan sebagainya. Kami harus memaklumi kondisi ini agar orangtua tak keberatan mengeluarkan biaya," kata mahasiswa yang tinggal di Bantul ini.
Keuntungan Fiantoro adalah warga Yogya, sehingga tak perlu biaya tambahan seperti kos atau uang makan. Selain itu, ia masih bisa bantu-bantu orangtua di rumah sekadar untuk meringankan beban. Selama ini ia tak pernah mendapat bantuan pendidikan dari pihak lain, seperti beasiswa maupun yang lain. "Seluruh biaya ditanggung orangtua," katanya.
Lain lagi dengan Prasetyo, seorang mahasiswa di sebuah PTS di Yogya yang asli Bantul. Sejak beberapa semester terakhir ia memperoleh beasiswa dari PT. "Setidaknya bisa meringankan beban bagi orangtua kami. Bisa untuk membeli buku, fotokopi dan kegiatan kampus lainnya," katanya.
Prasetyo juga bukan anak dari kalangan orang mampu, sehingga biaya kuliah memang dirasakan cukup berat. Bahkan ia juga aktif di berbagai organisasi, termasuk aktif dalam kesenian yang sering memberinya penghasilan. Kesulitan ekonomi itulah yang justru menyemangatinya untuk lebih aktif, baik dalam belajar, kuliah maupun mengikuti kegiatan-kegiatan kampus lainnya.
"Kami harus menerapkan manajemen ketat agar tetap bisa kuliah. Baik ketat dalam mengatur ekonomi maupun memenuhi kebutuhan bahan bacaan yang kami perlukan. Kadang kami harus bergabung dengan rekan kuliah untuk sekadar meminjam buku atau menggandakan bahan-bahan bacaan," ungkapnya.
Meski terengah-engah dalam soal biaya kuliah, namun Prasetyo yakin tahun depan ia akan mampu menyelesaikan studinya. Bahkan ia berencana melanjutkan kuliah ke jenjang S2 dengan keterbatasan kemampuan biaya. "Jujur, saya akan menjual sepeda motor saya untuk melanjutkan kuliah hingga jenjang S2. Sepeda motor akan saya jual dan ganti yang jauh lebih murah dan sisa uang penjualan motor itu akan saya manfaatkan untuk biaya kuliah nanti," tambahnya.
Harus Kreatif
Di saat harga berbagai kebutuhan naik, mahasiswa memang harus pandai mengatur kebutuhan hidup. Terlebih bagi yang pas-pasan, tak bisa hanya mengandalkan kiriman dari orangtua. Tak sedikit mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan di Yogya ini mencari dana tambahan dengan bekerja sambilan atau part time, dari yang sekadar kerja serabutan sampai menjadi pekerja di kantoran.
Prinsip mereka, kerja tersebut tak mengganggu jadwal kuliah dan menghasilkan uang. "Saya kadang-kadang ikut bongkar-bongkar bangunan," ujar Sahara, mahasiswa semester akhir UIN Sunan Kalijaga Yogya.
Penghasilan yang ia peroleh digunakan untuk membeli buku, fotokopi dan keperluan lain. Ia terpaksa bekerja sambilan karena orangtuanya bukan tergolong keluarga mampu secara ekonomi. Beruntung, Sahara di Yogya tidak kos, melainkan tinggal bersama orangtuanya. Aktivis Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) ini mengakui, kebutuhan hidup dan biaya pendidikan di Yogya kini sudah berubah, makin mahal. Ia sangat khawatir di masa mendatang biaya pendidikan di Yogya semakin tak terjangkau.
Komentar senada dikemukakan mantan aktivis LSM Sappurata, Sigit yang meminta agar mahasiswa sekarang harus kreatif. Artinya, tidak bisa kalau hanya melulu kuliah. Ia menunjuk contoh dirinya yang pada saat kuliah juga nyambi kerja. Apalagi jika melihat kebutuhan sekunder mahasiswa sekarang yang kadang melebihi keperluan primer. Kalau orangtuanya mampu mungkin tak masalah. Tapi bagaimana jika untuk membayar biaya kuliah saja tak ada sisa, sehingga satu-satunya jalan mahasiswa harus cari sambilan. Tentu saja, kata Sigit, kerja yang cocok dilakukan mahasiswa tak boleh berbenturan dengan jam kuliah.
Baik Sigit maupun Sahara sepakat pemerintah perlu memikirkan hal tersebut. Pemberian beasiswa, menurut pengamatan Sigit, banyak yang salah sasaran. Artinya, tak sedikit pula penerima beasiswa itu ternyata mahasiswa mampu. Oleh karena itu, ia berharap penerima beasiswa lebih selektif. "Program beasiswa cukup banyak, namun sering salah sasaran," ucap Sigit yang alumni UNY itu.
Pihaknya berharap, kehadiran UU tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) bukannya malah menyulitkan mahasiswa yang hendak meraih pendidikan tinggi. Apa jadinya bila biaya kuliah menjadi mahal dan tak terjangkau. Ia tak bisa membayangkan, kalau pemenuhan pendidikan tinggi hanya dinikmati segelintir orang.
Daya Tarik
Predikat Yogya sebagai Kota Pelajar dan Budaya tampaknya masih menjadi daya tarik bagi pendatang. Mahalnya biaya pendidikan dan biaya hidup ternyata tidak menyurutkan animo pelajar dari luar daerah untuk menuntut ilmu di Kota Yogya. Bahkan untuk mewujudkan keinginan tersebut tidak sedikit di antara mereka yang rela kuliah sambil bekerja.
Seperti dikemukakan Cucu Cahyana, mahasiswa semester V Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogya. Awalnya Cucu mengaku sempat ragu-ragu untuk datang ke Yogya. Adanya penelitian tentang pergaulan bebas yang cukup menghebohkan dan mahalnya biaya hidup menyurutkan niatnya melanjutkan studi di Yogya. Tapi setelah mendapat masukan dari berbagai pihak akhirnya anak keenam dari delapan bersaudara ini memutuskan kuliah di Yogya. "Untuk menghemat biaya pengeluaran saya sengaja tinggal di asrama Masjid Syuhada. Selain tidak perlu bayar kontrakan, wawasan saya juga semakin berkembang," kata Cucu yang orangtuanya petani.
Cucu mengatakan, untuk biaya hidup dalam satu bulan minimal dibutuhkan Rp 500 ribu. Nominal tersebut sudah termasuk biaya makan, membeli pulsa dan buku. Kendati biaya hidup yang dibutuhkan tidak terlalu besar, Cucu selalu berusaha untuk mandiri dan tidak tergantung pada orangtua. "Sebagai mahasiswa yang hidup di perantauan mau tidak mau saya harus mandiri. Memang penghasilan yang saya peroleh tidak terlalu besar tapi saya merasa senang. Apalagi dengan bekerja di yayasan dan event organizer (EO), saya tidak hanya mendapat tambahan uang tapi juga ilmu," paparnya.
Terus Naik
Hampir dipastikan, setiap tahun harga makanan, biaya kuliah dan sewa kos selalu saja naik. "Apa sih yang tidak naik tiap tahunnya. Sewa kos, misalnya. Pemilik kos-kosan rata-rata menaikkan harga sewanya antara Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu dari harga lama," keluh Dimas Krismanto, mahasiswa STIE YKPN Jurusan Manajemen asal Wonosobo ini.
Sebagai mahasiswa Dimas mengaku susah sekali mengerem pengeluaran untuk makan, rokok dan jalan-jalan. Juga fotokopi. Setiap bulan bungsu empat bersaudara ini harus mengeluarkan uang Rp 150 ribu untuk bensin, sewa kos Rp 450 ribu dan pulsa Rp 300 ribu.
Sedangkan untuk makan Dimas menganggarkan uang paling sedikit Rp 30 ribu dan paling banyak Rp 50 ribu perhari untuk tiga kali makan. Atau, kira-kira Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta per bulan untuk biaya makan.
Sebagai mahasiswa, setiap bulan Dimas mendapatkan kiriman Rp 2 juta dari orangtuanya yang berprofesi wiraswasta. Uang tersebut hanya untuk memenuhi biaya kehidupan sehari-hari per bulan. Tidak termasuk biaya sewa kos dan kuliah. "Kalau untuk biaya kuliah dan kos, orangtua saya akan mengirimnya tersendiri," kata Dimas.
Pengeluaran mahasiswa yang kuliah di Yogya, menurut Dimas, dipengaruhi oleh gaya hidup mahasiswa itu sendiri. "Tergantung orangnya saja. Teman saya misalnya, satu bulan hanya mendapat kiriman Rp 500 ribu dari orangtuanya, nyatanya ia masih bisa bertahan," jelas Dimas.
Hal senada diungkapkan Navi Rimayati, mahasiswa UPN "Veteran" Jurusan Hubungan Internasional, semester tiga asal Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Menurutnya, pengeluaran mahasiswa sangat dipengaruhi taraf hidup orangtuanya. "Bila orangtuanya mampu ia pasti akan memilih tinggal di kos yang mahal dengan fasilitas yang lengkap. Tapi banyak juga yang hanya mampu menyewa kos dengan harga sedang-sedang saja. Tergantung status sosialnya," katanya.
Navi mengatakan, mendapatkan uang dari orangtuanya setiap dua minggu sekali. Besarnya antara Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta. Uang itu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja.
Tasya, mahasiswi semester 8 Jurusan Akuntansi di STIE YKPN lain lagi. Ia mengatakan, pengeluarannya di Yogya sebagai mahasiswa lumayan banyak. "Tiap awal bulan saya mendapat kiriman Rp 2 juta. Belum satu bulan berlalu, biasanya saya sudah minta kiriman lagi. Jadi totalnya kira-kira Rp 3 juta," bebernya.
Pengeluarannya itu, menurut Tasya yang berasal dari Samarinda, Kalimantan Timur ini, hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Karena untuk biaya kuliah dan kos orangtuanya membayarnya langsung ke kampus dan pengelola kos. Kalau biaya kuliahnya di STIE YKPN, SPP variabel Rp 60 ribu per SKS. Sedangkan SPP tetapnya Rp 1,3 juta. Pengeluaran paling banyak ia gunakan untuk membeli bensin. "Setiap minggu saya mengisi bensin Rp 150 ribu. Jadi setiap bulannya Rp 600 ribu," ujar Tasya.
Harus Objektif
Tingginya biaya hidup di Yogya tak menyurutkan niat para mahasiswa luar daerah untuk menuntut ilmu. Agar kiriman dari orangtua tetap tersisa hingga akhir bulan memang harus mengencangkan ikat pinggang. Apalagi sekarang ini semua harga kebutuhan naik, sehingga menyebabkan biaya hidup mahasiswa membengkak.
Kepala Dinas Pendidikan DIY Prof Suwarsih Madya PhD mengatakan, mahal atau tidaknya biaya hidup tergantung dari mahasiswa itu sendiri. Ada 2 hal yang perlu diwaspadai dari tingginya biaya hidup, yakni nominal tinggi dan hasil yang dicapai.
Ia tidak menutup mata sekarang ini biaya hidup di Yogya cukup tinggi, namun demikian jika mahasiswa bisa mengelola, tak menjadi soal. "Suasana saat ini dengan tahun 1970-1980-an beda. Contohnya, sarana prasarana belajar sekarang ini sudah canggih tak seperti dulu. Semua itu butuh biaya," katanya.
Dari sini bisa dilihat biayanya makin tinggi namun hasil yang dicapai juga maksimal, karena layanan tersebut akan memenuhi kualitas pendidikan, sehingga orang memandang kenaikan biaya hidup mahasiswa di Yogya harus objektif.
"Kalau dulu mahasiswa itu tinggal di pondokan sederhana kini beragam tipe pondokan ditawarkan sesuai selera. Tentunya makin lengkap fasilitasnya ya makin mahal. Semua itu tergantung dari mahasiswa itu sendiri. Banyak juga yang hidupnya numpang di masjid tapi bisa menyelesaikan S2," kata Suwarsih seraya menambahkan pola konsumsi mahasiswa dipengaruhi pendidikan keluarga.
Meski biaya hidup di Yogya makin tinggi, namun setiap tahun masih menjadi favorit bagi calon mahasiswa. Meski ada penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya, namun biaya hidup bukan penyebab utama. Banyak faktor yang membuat animo mahasiswa kuliah di Yogya menurun.
Untuk meningkatkan kembali jumlah mahasiswa menuntut ilmu di Yogya, pihaknya juga melakukan promosi pendidikan ke sejumlah daerah antara lain Kalimantan Selatan dan Riau. Sebab menuntut ilmu di Yogya tak hanya mendapatkan ijazah formal tapi juga pengalaman hidup bermasyarakat. Faktor budaya ini secara tidak langsung ikut menjadikan Yogya sebagai Kota Budaya dan Pendidikan.
Suwarsih Madya menepis jika ada imej hanya anak dari keluarga mampu yang bisa kuliah. Sebab sekarang ini di sejumlah kampus diterapkan sistem subsidi silang untuk membantu mahasiswa kurang mampu. Selain itu dari pemerintah juga ada Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM).
Informasi tentang beasiswa dan bantuan cukup banyak di kampus. Untuk itu ia meminta mahasiswa aktif mencari informasi tersebut. Jika benar anak kurang mampu dan berprestasi dinas menjamin bisa kuliah gratis. q -e

SUmber: KR 22 Januari 2008

Sabtu, 10 Januari 2009

Benchmarking

Benchmarking adalah sebuah proses mengukur kinerja internal organisasi, membandingkan dengan performa terbaik di kelas yang sama dan menganalisis bagimana mereka mencapai stadar tersebut. Informasi tersebut digunakan untuk menyusun target, strategi dan implementasi perusahaan.

Pada persaingan dengan perusahaan-perusahaan publik, maka sebuah standar industri sangat mudah dibuat, paling tidak untuk parameter keuangan yang dipublikasikan minimal dua kali setahun. Parameter tersebut dikelompokkan berdsarkan jenisnya dan terlihatlah angka rata-rata dari satu jenis industri untuk parameter tertentu, misalnya besarnya raw material cost, biaya produksi dan rasio-rasio keuangan yang lain. Selain angka rata-rata juga dapat dilihat perusahaan mana yang lebih baik dari angka rata-rata dan siapa yang terbaik (pemegang rekor/pencinta standar). Apabila anka-angak tersebut dimonitor selama bertahun-tahun maka akan mudah dilihat kinerja dari tiap perusahaan seiring berjalannya waktu.

Benchmarking bisanya merupakan bagian dari sebuah usaha yang lebih besar misalnya dalam sebuah Quality Improvement Project atau proses re-engineering. Sekali kita sudah menentukan parameter apa yang akan diukur dan bagaimana cara mengukurnya, maka obyektif selanjutnya adalah mengidentifikasi bagaimana sanga juara mencapai predikatnya dan apa yang harus dilakukan untuk dapat mencapai kesana.

Hal yang terpenting dalam benchmarking adalah kita dapat menentukan dimana posisi kita sekarang dibandingkan dengan rata-rata perusahaan lain di dalam industri. Apakah posisi saat ini berada di atas rata-rata atau malah sudah ditinggalkan oleh perusahaan lain yang sejenis. Dengan mengetahui posisi relatif terhadap perusahaan sejenis maka dapat ditentukan strategi apa yang harus diambil sehubungan dengan posisi tersebut. Perusahaan kita mungkin tertinggal dalam hal raw material cost tetapi mungkin juara dalam hal efisiensi tenaga kerja atau produktivitas. Benchmarking akan membantu menentukan dimana posisi pesaing utama sehingga secara obyektif bisa menimbang-nimbang kekuatan.

Benchmarking akan membantu dalam mengidentifikasi dimana terdapat potential cost saving dan dapat pula membantu dalam menentukan target performance untuk setiap departemen di Perusahaan. Bencmarkng juga dapat membantu memonitor kinerja perusahaan selama bertahun-tahun serta kecenderungannya. Apakah perusahan kita semakin kompetitif ataukan semakin tertinggal dari perusahaan lain.

Melakukan benchmarking akan membantu memahami tren industri yang digeluti dan best parctice yang terjadi di dlam dan di luar perusahaan. Membandingkan kinerja operasional perusahaan dengan rata-rata industri merupakan proses yang sangat obyektif dan meyakinkan bagi seluruh jajaran perusahaan. Seluruh staf akan merasa terpacu karena dinilai secara obyektif. Analisisi terhadap posisi persaingan menjadi sangat mudah, transparan serta tidak memakan waktu.

Sumber : Suseno Hadi Purnomo. Foodreview Indonesia desember 2008