Kamis, 29 Januari 2009

Pajak untuk Iptek

Kompas, Selasa, 27 Januari 2009 | 00:54 WIB

Amin Soebandrio

Salah satu penyebab keengganan industri terlibat kegiatan iptek adalah belum adanya kejelasan kebijakan insentif.

Insentif itu terkait fiskal dan nonfiskal bagi industri yang bersedia menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membiayai penelitian.

"Revenue forgone"?

Merupakan hal yang lazim bagi negara-negara maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk memberikan perangsang atau insentif kepada industri yang menyisihkan sebagian penghasilannya guna membiayai kegiatan penelitian, baik fiskal maupun nonfiskal.

Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi menegaskan, badan usaha yang mengalokasikan sebagian pendapatan untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan insentif dalam bentuk insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis penelitian dan pengembangan.

Namun, otoritas pajak masih berkeberatan untuk menerapkannya karena amat khawatir akan menyebabkan tidak tercapainya target pendapatan negara melalui pajak pada tahun yang bersangkutan, yang mereka sebut sebagai revenue forgone.

Benarkah negara akan kehilangan penghasilannya karena digunakan untuk membiayai iptek?

Proyeksi 3-5 tahun

Benar bahwa penerimaan negara melalui pajak akan berkurang sebesar insentif yang diberikan kepada industri yang membiayai penelitian. Namun, dengan memastikan bahwa penelitian yang dibiayai industri adalah penelitian yang quick yielding, dalam waktu tiga sampai lima tahun ke depan akan diperoleh produk komersial.

Melalui suatu simulasi, dapat diperhitungkan bahwa investasi dalam beberapa penelitian sebesar sekitar Rp 12 miliar dalam dua tahun, pada akhir tahun ketiga, komersialisasi produk-produk hasil penelitian itu akan menghasilkan penjualan per tahun sekitar Rp 100 miliar dengan laba bersih sekitar Rp 20 miliar.

Seluruh penerimaan negara dari pajak-pajak penjualan, pertambahan nilai, penghasilan perusahaan, dan penghasilan perorangan terkait kegiatan ini adalah sekitar Rp 16 miliar per tahun, hampir tiga kali jumlah insentif pajak yang diberikan. Belum lagi jika diperhitungkan manfaat yang dapat dipetik dari pertumbuhan ekonomi, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan pengurangan kemiskinan yang diakibatkan.

Dari simulasi ini, jelas investasi pemerintah dalam bentuk insentif pajak untuk membiayai penelitian akan memberi manfaat berlipat dan tidak layak dianggap sebagai revenue forgone.

Pengelolaan iptek

Kegiatan iptek di Indonesia tahun 2009 perlu mendapat penanganan khusus. Sudah cukup banyak dana yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai kegiatan penelitian yang bersifat pembinaan atau sekadar untuk meningkatkan kesejahteraan peneliti. Sudah saatnya para peneliti dan lembaga penelitian memilih kegiatan yang dapat menghasilkan produk komersial yang dibutuhkan pasar dalam waktu tiga sampai lima tahun.

Pada awal tahun 2009, Kementerian Negara Ristek (cq Dewan Riset Nasional) akan mengumumkan produk-produk target dari bidang fokus teknologi pangan, energi, transportasi, informasi dan komunikasi, hankam, serta kesehatan yang diprioritaskan.

Identifikasi produk-produk target itu dilakukan bersama wakil-wakil peneliti, pengguna, dan pihak industri. Para peneliti ditantang untuk dapat bersinergi dengan sesama peneliti maupun pihak industri untuk dapat menghasilkannya. Karena penelitian ini sudah akan menghasilkan produk komersial (barang maupun jasa), pihak industri lebih tertarik untuk ikut baik dalam perencanaan, pemantauan, penyerapan, dan pemanfaatan hasil, maupun pada pembiayaannya.

Diharapkan, dengan pengelolaan iptek yang berorientasi pada produk komersial ini akan meningkatkan keberpihakan kebijakan pajak kepada iptek karena peningkatan iptek pasti akan meningkatkan penerimaan pajak.

Amin Soebandrio Deputi Pengembangan SIPTEKNAS Kementerian Negara Riset dan Teknologi

Tidak ada komentar: