Selasa, 31 Maret 2009

Salah urus UMKM

KR. 27/03/2009 09:30:31 

Oleh : Hempri Suyatna

PEMBERITAAN media mengenai Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) cukup membuat kita miris. Mulai, Nilai Ekspor Terus Merosot (KR, 6/2/2009), Negara Tujuan Stop Pembelian, Ekspor UKM Turun (KR, 10/2/2009), Perajin Bambu Terhambat Permodalan (KR, 14/2/2009) hingga Selama 4 Bulan, Ekspor Turun Terus (KR, 3/3/2009). Sungguh sangat ironis.
Karena di tengah gencarnya pemerintah melaksanakan kebijakan-kebijakan yang pro-UMKM bahkan mengklaim keberhasilan kebijakan tersebut, ternyata persoalan yang menerpa sektor UMKM juga tidak pernah ada habisnya. Sektor ini masih saja terpuruk. Realitas tersebut paling tidak juga menunjukkan bagaimana kuatnya muatan politis di balik gencarnya pemerintah mengucurkan berbagai program pengembangan UMKM akhir-akhir ini.
Klaim keberhasilan yang dilakukan oleh pemerintah memang sah-sah saja. Akan tetapi klaim yang tidak didasari atas realitas yang terjadi di tingkat bawah justru hanya akan semakin menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya tidak pernah serius dalam menangani sektor UMKM. Adakah yang salah dengan kebijakan-kebijakan UMKM selama ini?
Tampaknya demikian. Salah urus merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana carut-marutnya program-program pengembangan UMKM di Indonesia. Jika dicermati, kebijakan-kebijakan UMKM selama ini hanya menyentuh pada persoalan kultural saja dan mengabaikan persoalan struktural yang sebenarnya juga menjadi faktor penting yang menghambat UMKM maju.
Struktur perekonomian yang terlalu berpihak kepada pengusaha besarlah yang sebenarnya menghambat UMKM untuk maju. Sayangnya, para perencana kebijakan kurang memperhatikan hal tersebut sehingga kebijakan-kebijakan UMKM cenderung hanya berorientasi pada upaya meningkatkan permodalan,  memperluas jaringan pemasaran maupun  mempermudah akses teknologi.
Model kebijakan yang sebenarnya gagal pada rezim  sebelumnya diulang terus menerus dengan label kebijakan yang berbeda namun secara substansial sama.
Implikasi dari hal tersebut menyebabkan kebijakan yang ada hanya mampu membuat UMKM  sekadar bertahan hidup saja akan tetapi kebijakan tersebut tidak pernah mampu membuat UMKM mampu mengatasi persoalan-persoalan yang menyebabkan mereka tidak dapat berkembang apalagi memiliki daya saing.  Berbagai contoh kebijakan di Indonesia menunjukkan bagaimana tidak perhatiannya pemerintah dalam menghilangkan aspek- aspek struktural yang menghambat efektivitas bekerjanya kebijakan UMKM. Sebagai contoh, bagaimana UMKM dapat berkembang jika di saat pemerintah gencar mengucurkan berbagai bantuan untuk UMKM akan tetapi di sisi lain pemerintah juga memberikan peluang besar bagi sektor kapitalistik untuk melakukan ekspansi usaha mereka. Akibatnya sektor UMKM banyak yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing.
Lihat saja sekarang, berapa banyak industri tekstil dalam negeri yang harus gulung tikar karena pasar dalam negeri telah dikuasai 77% produk tekstil di mana 70% persennya masuk secara ilegal. Contoh lain di mana banyak pasar tradisional yang merupakan wadah perekonomian rakyat kecil yang sudah gulung tikar karena pemerintah  terlalu memanjakan berdirinya pusat-pusat perbelanjaan modern seperti minimarket dan supermarket.
Survei AC Nielsen menyatakan jumlah pasar tradisional pada tahun 2000 masih 78,3% dari total pasar. Namun, pada tahun 2005 jumlahnya menurun menjadi 70,5%. Bahkan pada tahun lalu diperkirakan jumlah pasar tradisional berkurang menjadi hanya 65% dari total jumlah pasar di Indonesia. Data dari Asosiasi Pedagang Seluruh Indonesia juga membuat kita turut prihatin. Pada tahun lalu, sebanyak  4.707 pasar tradisional atau sekitar 35% dari total pasar tradisional yang ada di Indonesia ditinggalkan pedagang karena pasar tradisional kalah bersaing dengan retail modern di lokasi sama (Gatra, 29/1/ 2009). 
Hal esensial lain yang menyebabkan UMKM di Indonesia tidak berkembang adalah  kesalahan perencana kebijakan UMKM dalam memahami filosofi pelaku UMKM yang sebagian besar merupakan masyarakat miskin.  Masyarakat semacam ini memiliki karakteristik dan  strategi survival sendiri  yang  tidak dapat didekati dengan pendekatan-pendekatan  yang bersifat ekonomis maupun pendekatan individual. Selama ini, relasi-relasi sosial dan modal sosial di antara pelaku UMKM-lah yang dapat membuat sektor UMKM  mampu bertahan. Sayangnya, aspek ini cenderung diabaikan. Indikator kemajuan UMKM hanya dilihat dari sisi ekonomis semata seperti tingkat pendapatan, omzet penjualan dan sebagainya. Batasan UMKM sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008  juga hanya mengacu pada ukuran-ukuran ekonomis seperti kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan. 
Dapatkah salah urus kebijakan tersebut diperbaiki? Tentunya tidak ada kata terlambat dengan catatan perhatian atas aspek struktural kebijakan dan pemahaman akan filosofi pelaku UMKM harus menjadi perhatian bagi para perencana kebijakan. Pola-pola pikir kapitalistik yang selama ini masih saja terus mewarnai berbagai kebijakan pembangunan di Indonesia harus diubah dengan menjadikan pengembangan  UMKM sebagai prioritas utama kebijakan. Tanpa hal ini, sektor UMKM hanya akan menjadi 'anak tiri' terus dalam proses pembangunan. Dalam konteks ini, komitmen dan kekonsistenan kebijakan menjadi kata kunci.
Selaras dengan hal tersebut, kebijakan UMKM  harus menempatkan aspek non material sebagai basis pengembangan program. Oleh karena itu, penguatan aliansi strategis antarpelaku UMKM adalah agenda utama yang harus dilakukan. Kolektivitas dan  relasi-relasi sosial di antara pelaku UMKM perlu terus dibangun sehingga mampu menjadi kekuatan sosial dalam membendung ekspansi kapitalisme. Melawan kapitalisme dengan mengandalkan basis materi ekonomi adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin bagi pelaku UMKM, akan tetapi melawan kapitalisme dengan membangun gerakan sosial bersama di antara pelaku UMKM adalah sesuatu yang sangat mungkin dan harus diwujudkan.

(Penulis adalah Dosen Fisipol UGM)-z

Tidak ada komentar: