Selasa, 28 April 2009

Strategi pemasaran WOM terbukti efektif

Jumat, 24/04/2009 17:20 WIB

oleh : Sepudin Zuhri

JAKARTA (bisnis.com) : Strategi pemasaran melalui mulut ke mulut (word of mouth/WOM) terbukti efektif meningkatkan penjualan suatu produk, karena sekitar 68% konsumen membeli produk melalui rekomendasi dari konsumen lain.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lembaga Pemasaran Onbee menyimpulkan 89% konsumen membeli produk atas rekomendasi dan 68% konsumen atas informasi dari orang lain melalui mulut ke mulut.

Business Director Octovate--brand consultant-- Sumardy mengatakan pemasaran melalui WOM dapat meningkatkan penjualan hingga 3 kali lipat dengan catatan melalui pembicara (talker) yang memiliki jaringan dan kredibel seperti tokoh masyarakat, ibu-ibu rumah tangga, anak muda yang berpengaruh dan lainnya.

"Pemasaran melalui WOM dapat menekan anggaran pemasaran di tengah krisis selama dilakukan secara sistematis tidak hanya secara kebetulan," ujarnya saat memaparkan Pemasaran melalui WOM hari ini.

Menurut dia, produsen di Amerika Serikat dan Eropa mulai menggunakan pemasaran mulut ke mulut, setelah berusaha melakukan penghematan anggaran dengan memangkas anggaran iklan.

Penelitian tersebut dilakukan di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Makassar dan Medan yang terdiri dari 2.000 responden. Di Jabotabek terdiri dari 800 responden dan sisanya di empat kota. Responden itu berusia 15-55 tahun dengan kelas sosial A-E.

Produk yang ditanyakan kepada konsumen dalam penelitian tersebut terdiri dari 100 kategori dan masing-masing kategori terdiri dari 3-7 jenis produk. Seluruh kategori produk tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 5 kelompok produk yakni produk rumah tangga seperti sabun, shampo, pasta gigi dan lainnya, kategori produk transportasi, kategori produk leasing, makanan dan minuma dan produk kecantikan.

Dia menuturkan sekitar 83% konsumen yang berusia 25-34 tahun akan mempercayai suatu produk berdasarkan apa yang mereka lihat, baca atau mendengar tentang perusahaan produk tersebut dari orang lain. Sebanyak 56% Konsumen berusia 35-64 tahun dan 63% konsumen berusia 25-34 tahun akan membagi pengalamannya dan pendapat tentang produk suatu perusahaan yang mereka percaya kepada orang lain. (tw)

bisnis.com

http://www.facebook .com/ext/ share.php? sid=73854621861&h=wLspn&u=PPJPS

Senin, 13 April 2009

Rumput Laut di Lembar Kertas

01 January 2008
Kertas diproses dari limbah agar-agar tanpa bahan kimia, berserat agalosa yang homogen, massal dan ramah lingkungan

Seorang lelaki tinggi besar berpotongan rambut crew cut menyodorkan selembar kertas di depan Trobos dan beberapa kuli tinta lainnya. Tak ada yang ajaib pada kertas putih bersih tersebut. Hanya saja ketika diraba, permukaan kertas itu lebih halus, seperti kertas mahal yang dipakai majalah Time.
Churl Hak You¯nama lelaki itu¯mengatakan,  kertas itu memang bukan kertas biasa yang berbahan baku kayu, melainkan kertas yang dihasilkan dari rumput laut klas algae merah (Rhdophyta).
You yang berkebangsaan Korea Selatan kemudian berkisah, suatu hari agar-agar yang menjadi menu dietnya jatuh ke lantai rumahnya. Dia punguti ceceran makanan kenyal itu yang sekilas mirip bubuk kertas. Di saat itu pula otaknya bekerja lalu sampai pada pertanyaan, "Mengapa agar-agar ini tidak dibuat kertas?" ujarnya.
You yang sebenarnya tamatan fakultas sastra lantas mencari referensi jenis rumput laut yang bisa menjadi bahan baku pulp atau bubur kertas. Untuk itu, You rela menjelajah Amerika, Jepang, China,Vietnam dan Thailand. Akhirnya pada 2003, dia mendapat paten dari Korea dan Amerika tentang proses produksi kertas berbahan baku algae merah (Gelidium amansii dan Pterocladia lucia).
Sayangnya, di Negeri Ginseng yang subtropis, algae merah cuma bisa panen saat musim panas, Mei dan Juni. Fakta tersebut menuntun langkahnya sampai di Indonesia dan bertemu Grevo S Gerungan, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dari Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Panen Sepanjang Tahun
Sejak 2006 You dan Grevo melakukan budidaya algae merah di pesisir Nusa Lembongan, Bali dan Lombok. "Kami bekerjasama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) juga dengan Balai Budidaya Laut (BBL) Lombok," kata You. Di Indonesia, budidaya algae merah bisa dipanen sepanjang tahun yaitu dalam waktu 70 hari dengan hasil 4 kali biomass bibit.
Yang menggembirakan lagi, "Dari hasil survei kami, sepanjang pantai selatan mulai dari Pamengpeuk (Garut) sampai Kupang (NTT) sangat berpotensi untuk budidaya algae merah". Tak heran jika kemudian You mendirikan perusahaan Pegasus Internasional guna mendanai riset di Lombok. Dan Samsung Corporation, konglomerat asal Korsel berada di belakangnya.
"Sekarang kami sedang menangani Ptilophora, Pterocladia capillacea (Gelidium) dan satu jenis lagi yang akan dikembangkan, nama lokalnya beludru," imbuh Grevo. Saat ini, katanya, telah ada 5000 thallus benih. Sementara untuk keperluan budidaya dibutuhkan 100 ribu thallus per-hektar lahan. Grevo mengaku, proses pembenihan ini tidak mudah karena masih harus mengambil dari alam. "Kita butuh waktu sampai 3 tahun untuk mendapatkan 5000 thallus benih, itu pun dengan berkali-kali gagal," ucapnya.
Untuk pengembangan selanjutnya akan dibangun satu pabrik pulp di setiap 500 hektar lahan. Grevo memperkirakan, setiap hektar lahan akan butuh 2 petani. Setiap hektar akan menghasilkan 200 ton rumput laut per-tahun. Pulp yang bisa dihasilkan mencapai 30% dari rumput laut kering.
You menambahkan, dana pembangunan satu pabrik pulp mencapai US$ 2 juta atau sekitar Rp 18 miliar. Meski demikian, masyarakat juga bisa membuat pabrik ini karena teknologinya sederhana. "Seperti menggunakan mesin mixer," jelas You. Grevo memprediksi pada awal 2009 sudah bisa terealisasi. Disain pabrik rencananya akan mengambil dari Jepang.

Tak Ada Limbah
Proses pembuatan kertas dari rumput laut, tidak berbeda dari pembuatan kertas dari kayu. Ada lima proses pokok, yakni penyiapan bahan baku, pemasakan rumput laut, ekstraksi rumput laut, pemutihan dan pencetakan
Secara runtut, proses produksi dimulai dari panen rumput laut merah, kemudian dijemur, dibersihkan, dan dipotong-potong. Lalu dimasukan dalam tungku dan dimasak pada suhu tinggi (boiling), sehingga keluar ekstrak "inti" berupa agar untuk pangan.
Ampas rumput laut—yang telah diambil agarnya—kemudian diputihkan (bleaching) lalu dihancurkan jadi bubur rumput laut merah (pulp). Bubur inilah yang kemudian diolah jadi kertas. "Industri kertas ini tidak bersaing dengan industri agar-agar. Kita jusru memanfaatkan limbah agar-agar," ujar Grevo
Bila dibandingkan, proses produksi kertas dari kayu, sarat akan bahan kimia seperti NaOH dan Na2S (untuk memisahkan serat selulosa dari bahan organik). Dan, berefek gas yang berbau dan mengandung hidrogen sulfida (H2S), methyl mercaptan (CH3SH), dimethyl sulphide (CH3SH3), dimethyl disulphide (CH3S2CH3) dan senyawa gas sulfur.
Hal inilah yang membuat operasional pabrik kertas berbahan baku kayu hampir selalu berbenturan dengan kepentingan lingkungan hidup. Sementara pengolahan produksi kertas dari rumput laut, diproses nyaris tanpa bahan kimia selain pemutihan dengan klorin. Dan yang terpenting, menurut You, hampir tidak ada limbah yang keluar, sehingga tidak berdampak bagi kesehatan.

Selengkapnya baca Majalah TROBOS edisi Januari 2008

Selasa, 07 April 2009

Kampung Tempe, Bebas Krisis Ekonomi

Liputan 6 - Kamis, Maret 19, 2009

Liputan6.com, Malang:

Dunia boleh saja diterpa krisis ekonomi global, tapi imbasnya ternyata tak sampai ke Kampung Sanan di Malang, Jawa Timur. Sudah turun-temurun penduduk kampung ini sibuk dengan rutinitas memproduksi tempe. Hampir 80 persen warga kampung bekerja sebagai produsen tempe. Itu sebabnya kampung ini kerap pula disebut Kampung Tempe.

Berkat tempe, bisa dibilang hampir tak ada pengangguran di kampung ini. Persaingan bisnis yang sehat membantu pengembangan produksi tempe di kampung ini. Tak hanya menyuplai tempe mentah, warga di kampung ini juga membuat produk tempe olahan, seperti kripik tempe.

Berkat tempe pula warga Kampung Sanan sekarang mempunyai bisnis sampingan baru, yakni penggemukan sapi. Peternak tinggal memanfaatkan ampas kedelai atau limbah produksi tempe sebagai makanan utama sapi. Selain mudah mendapatkannya, sapi pun lebih cepat gemuk ketimbang mengkonsumsi rumput.

Berkembangnya bisnis di kampung ini membuat roda ekonomi terus berputar dan hampir tidak terkena dampak krisis. Bahkan kini di kampung tersebut mulai banyak berdiri sentra penjualan oleh-oleh. Produsen dari kampung lain pun banyak menitipkan produk makanan ringannya di sini.(TES/Noor Ramadhan dan Eko Saktia)